“Diakonia Transformatif di Tengah Proses Globalisasi”
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Memilih Judul
Gereja
adalah persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus atau persekutuan
orang yang telah menjadi murid Yesus dan mengikuti pola hidup-Nya.
Orientasi kehidupan Gereja ditengah dunia adalah meneladani pelayanan
Yesus Kristus yang melakukan kehendak Allah dalam kebenaran dan
kekudusan untuk memberikan keselamatan dan hidup baru bagi dunia (Roma
6:4)[1]. Ia hadir ditengah dunia bukan hanya melepaskan manusia dari belenggu dosa, akan tetapi Ia juga hadir dan
memperhatikan segala pergumulan hidup orang-orang yang lemah yang
keberadaannya terabaikan ditengah masyarakat, seperti orang miskin,
tawanan, janda, yatim piatu, orang buta dan orang-orang tertindas (Lukas
4: 18-19). Dalam kaitan ini
misi keselamatan yang dibawa Yesus adalah misi yang holistik meliputi
kebutuhan rohani dan jasmani umat manusia.
Dalam
menjalani kehidupannya, Gereja selalu berhadapan dengan perubahan jaman
serta keadaan realitas sosial masyarakat dengan berbagai pergumulan
yang sedang terjadi, Sebagaimana halnya jaman ini yang disebut dengan
era globalisasi. Globalisasi ditandai dengan adanya arus kuat untuk
mengelola apa saja sebagai industri termasuk manusia, serta mengarahkan
negara-negara dunia kedalam suatu wadah perekonomian global yaitu sistim
pasar bebas[2].
Pasar
bebas di issukan akan membawa kemakmuran bagi masyarakat secara umum
dan juga kemakmuran bagi seluruh bangsa dunia. Sebab sistem tersebut
memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk menggunakan modal
sebesar-besarnya terutama dalam mengolah setiap usaha atau bisnis yang
digeluti. Akan tetapi berbagai gejala sosial ditengah kehidupan
masyarakat dalam skala global juga terjadi ditengah proses globalisasi
tersebut. Kesengsaraan dan penderitaan pada umumnya dirasakan oleh masyarakat miskin yang perekonomiannya lemah. Sementrara itu kemakmuran[3]
hanyalah milik segelintir masyarakat, yaitu mereka yang memiliki modal
dan mampu memanfaatkan perkembangan teknologi. Globalisasi ternyata
hanyalah suatu tameng untuk melegitimasi sistem ekonomi kapitalisme yang
ciri khasnya penguasaan modal oleh para pengusaha dan motivasi utamanya
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya[4].
Harkat dan martabat manusia khususnya masyarakat ekonomi lemah terkesan
tidak diperhitungkan lagi ditengah jaman ini. Petani kecil yang
kebutuhan hidupnya bergantung pada hasil produksi pertaniannya,
terbentur dalam masalah pemasaran. Harga produksi pertanian cenderung
lebih murah terutama ketika masa panen.
Dipihak lain, kaum buruh atau para pekerja dipabrik-pabrik industri terkesan
dinilai sebagai aset produksi yang akan memberikan keuntungan besar
bagi pihak pengusaha. Pengeksploitasi kaum buruh oleh para pengusaha
sepertinya menjadi hal yang dimaklumkan atau terkesan sebagai perbuatan
yang wajar-wajar saja[5].
Berkaitan dengan itu, mereka yang bekerja khususnya sebagai buruh
pabrik tidak secara otomatis dapat hidup layak sebagai manusia yang
berharkat. Para buruh pabrik bagaikan sepasang mur dan baut dalam sebuah
sistem mesin produksi. Keberadaannya sangat dibutuhkan dalam menunjang
kelancaran hasil produksi akan tetapi haknya tidaklan sepenuhnya
dipenuhi.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa proses berlangsungnya globalisasi, bila
dicermati menimbulkan berbagai permasalahan ditengah kehidupan manusia.
Masyarakat miskin dan yang SDM-nya terbatas cenderung menjadi korban,
atau dengan kata lain mirip menjadi sapi perahan para pengusaha besar
ditengah globalisasi. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin serta tersisihkan. Keadilan terabaikan, kesejahteraan hidup tidak
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Permasalahan terebut juga di
alami oleh bangsa dan warga masyarakat Indonesia yang telah terkait
dalam proses berlangsungnya globalisasi.
Dalam
alkitab dipaparkan bahwa kedatangan Yesus adalah untuk mewujudkan
kerajaan Allah, salah satu tanda kehadiran kerajaan Allah didunia adalah
penegakan keadilan khususnya bagi orang-orang miskin, orang tertindas
dan orang-orang lemah, yang haknya diabaikan ditengah masyarakat. Itulah
sebabnya Yesus mengidentifikasikan kehadiran-Nya sebagai orang miskin
dan lemah, barang siapa melayani orang-orang miskin dan lemah dengan
perbuatan baik, berarti ia juga telah melayani Yesus (bnd.
Mat.25:40;Luk.4:18-19).
Gereja bukan hanya menjalankan tugas pemberitaan Firman, akan tetapi melakukan dan mewujudkan Firman tersebut ditengh kehidupan jemaat. Oleh
karena itu Gereja harus lebih aktif dan kreatif dalam menyikapi segala
bentuk perubahan serta permasalahan ditengah kehidupan manusia, sebab
mengamati pergumulan masyarakat serta bertindak melakukan perbaikan
adalah sesuatau yang hakiki bagi Gereja. Apabila Gereja tidak mampu bersikap kritis, sebaliknya bersikap konfromis maka akan kehilangan minat dari anggotanya dan kehilangan makna sebagai Gereja [6].
Gereja mengemban amanat agung dari Tuhan Yesus antara lain, persekutuan (Koinonia), kesaksian (Marturia) dan pelayanan (diakonia) yang harus diwujudkan dalam kehadirannya ditengah dunia. Berkaitan dengan itu Gereja-Gereja[7]
di berbagai tempat dan daerah sebagaimana HKBP, telah cukup lama
menjalankan pelayanan diakonia ditengah-tengah jemaat, misalnya dengan
mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. Menyikapi
permasalahan yang terjadi ditengah globalisasi pada saat ini, pelayanan
diakonat Gereja tidak cukup lagi hanya dalam bentuk-bentuk pelayanan
tradisional yang diwarisi dan dilaksanakan ditengah Gereja. Lebih dari
pada itu, Gereja harus bertindak mengupayakan pembebasan serta
mewujudkan kesejahteraan hidup bagi mereka yang menjadi korban
globalisasi. Sebab kesejahteraan dunia adalah juga kesejahteraan Gereja.
Denga demikian nyatalah bahwa Gereja adalah duta Allah yang menjadi
penyembuh dunia.
Memperhatikan
keadaan realitas sosial masyarakat, terutama ditengah kehidupan warga
jemaat yang sarat diwarnai dengan kemiskinan dan kemelaratan ditengah
globalisasi, maka penulis tertarik untuk mengkaji peranan serta
keterlibatan Gereja khususnya melalui pelayanan diakonia dalam upaya
meningkatkan taraf hidup jemaat ekonomi lemah yang menjadi korban
ditengah berlangsungnya globalisasi tersebut. Oleh karena itu dalam
tulisan ini, penulis membuat judul :
“Diakonia Transformatif di Tengah Proses Globalisasi”. (Suatu Study Tentang Panggilan Gereja Dalam Meningkatkan Taraf Hidup Warga Jemaat Ekonomi Lemah di Tengah Proses Globalisai))
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah :
1. Apa dampak negatif dari globalisasi terhadap ketidak adilan ekonomi ditengah-tengah kehidupan manusia?
2. Bagaimana tindakan Gereja dalam menangani dampak negatif globalisasi yang terwujud dalam kesengsaraan dan kemiskinan hidup?
3. Langkah apakah yang perlu diupayakan Gereja untuk menyerukan dan menegakkan keadilan ekonomik.
4. Serta apa langkah Gereja dalam meningkatkan taraf hidup warga jemaat ekonomi lemah ditengah proses globalisasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan tulisam ini adalah:
1. Mengetahui upaya Gereja secara nyata dalam membebaskan warga jemaat ekonomi lemah (miskin) akibat globalisasi ekonomi.
2. Mengetahui program Gereja untuk meningkatkan ekonomi warga jemaat.
3. Mengetahui misi strategis Gereja untuk menghadapi dampak negatif arus globalisasi ekonomi.
4.
Memaparkan upaya Gereja secara konkrit yang dianggap dapat membebaskan
serta mengusahakan kesejahterahan bagi jemaat miskin yang menjadi korban
globalisasi.
1.4 Manfaat Penulisan
· Bagi
Penulis, tulisan ini sangat bermakna, sebab merupakan tugas akhir dan
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan perkuliahan . Untuk itu
penulis berharap tulisan ini menjadi wadah dalam merefleksikan segala
pengetahuan yang diperoleh terutama selama mengikuti perkuliahan di .
Semoga dengan tulisan ini, dalam pelayan kelak, penulis dapat melakukan
tugas pelayanan dengan maksimal terutama dalam hal memperdulikan hak-hak
kaum lemah, sesama yang miskin dan mereka yang tertindas ditengah
kehidupan ini.
· Bagi
Gereja, diharapkan dengan tulisan ini semakin gencar melaksanakan tugas
panggilannya terutama dalam hal pelayanan diakonia. Terutama dalam
memperhatikan penderitaan jemaat miskin dan mengupayakan jalan keluar
bagi mereka agar memperoleh keadilan dan kesejahteraan menjalani
kehidupannya.
· Bagi
pembaca, diharapkan dengan tulisan ini termotifasi untuk memahami tugas
panggilan Gereja terutama dalam bidang diakonia, sehingga pembaca
tergerak untuk melakukan pekerjaan diakonia terhadap sesama. Dan
diharapkan pembaca juga mampu menyadari efek yang ditimbulkan
globalisasi sehingga mampu mengambil sikap dan berbenah diri agar tidak
menjadi korban dari keadaan.
1.5 Metodologi Penulisan.
Metode
yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskrptif studi
literatur dari berbagai tulisan para ahli, serta artikel dan
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan topik penulisan akan dijadikan
sebagai acuan analisis terhadap pembahasan dalam menyelesaikan tulisan
ini.
1.6 Ruang Lingkup Penulisan
Bab I : Merupakan
pendahuluan dari tulisan, mencakup alasan memilih judul serta
keterkaitan penulis untuk membahas pelayanan Gereja dalam bidang
diakonia ditengah globalisasi, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan serta ruanglingkup penulisan.
Bab II : Dalam
bab ini, penulis akan menjelaskan kerangka teori tentang arti dan
makna, diakonia secara teologis sebagai wadah pelayanan Gereja ditengah
jemaat. Juga akan di paparkan pemahaman tentang globalisasi, bagaimana
proses berlangsungnya serta memaparkan dampak negatif yang diakibatkan
oleh globalisasi ekonomi.
Bab III :
Dalam bab ini akan di paparkan beberapa fenomena sosial yang terjadi
ditengah globalisasi dan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
ekonomi lemah akibat ketidak adilan globalisai ekonomi. Bagaimana seharusnya Gereja bertindak dalam menyikapi arus globalisasi yang mengakibatkan kesengsaraan hidup warga masyarakat ekonomi lemah. Serta apa usaha atau tindakan Gereja dalam menegakkan keadilan bagi jemaat yang menjadi korban globalisasi.
Bab IV : Menguraikan
bentuk-bentuk keterlibatan Gereja secara nyata dalam meningkatkan taraf
hidup jemaat melalui diakonia transformatif di tengah globalisasi.
Bab V : Penutup/Kesimpulan
Bab II
Dasar Kerangka Teologi
2.1 Diakonia
Istilah “diakonia” berasal dari bahasa Yunani, διακονια artinya pelayanan, sedangkan orang yang melakukannya disebut sebagai pelayan (δίακονος). Diakonia merupakan tindakan dari melayani (δίακονέίν), yang dilakukan oleh pelayan[8]. Biasanya diakonein
diartikan juga sebagai pekerjaan dalam melayani meja yaitu dengan
mempersiapkan hidangan-hidangan atau kebutuhan fisik para tuan atau
orang-orang terhormat. Gambaran dalam melayani adalah dengan merangkak, bertulut sampai ke tanah, yang diuntungkan adalah penerimanya atau yang dilayani, sedangkan pelayan itu sendiri tidak memperoleh jasa atau gaji[9]. Lebih
lanjut, melayani berarti melakukan sesuatu bagi orang lain yang
kedudukannya terhormat, baik secara sukarela ataupun karena terpaksa.
Biasanya hanya dilakukan oleh budak atau orang yang kedudukannya
dipandang rendah ditengah masyarakat, sedangkan orang-orang merdeka
tidak bersedia melakukannya. Hal tersebut terjadi karena arti hidup
dalam kebudayaan Yunani dilihat dalam perkembangan yang
bebas dari diri sendiri, sedangkan melayani bertentangan dengan
kehendak sendiri karena harus merendahkan diri dan memberikan diri
kepada orang lain. Oleh karena itu diakonia tersebut dipandang sebagai
suatu pekerjaan hina[10].
Istilah
diakonia yang dipandang rendah dan hina dalam kehidupan dunia Yunani
tersebut, menjadi salah satu istilah yang dihormati dalam kehidupan
kristen. Bahkan diakonia merupakan salah satu dari tritugas panggilan
Gereja yang harus dijalankan dalam rangka mewujudkan kerajaan Allah di
dunia ini. Menurut pemaparan A. Noordegraaf[11], istilah diakonia, melalui kedatangan Yesus Kristus telah memiliki makna dan isi yang baru. Anak Manusia datang
bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (δίακονέίν) atau
melakukan dikonia dan memberikan hidup-Nya untuk menjadi tebusan bagi
orang banyak. Yesus yang adalah Mesias dan Raja justru hadir dan
merendahkan diri-Nya untuk melayani umat-Nya. Dalam hal ini Yesus
menentang tata kehidupan duniawi yang cenderung memperlihatkan
kekuasaannya, yang sifatnya selalu harus dilayani. Dalam kerajaan-Nya
yang pertama atau yang terbesar justru harus terlebih dahulu menjadi
pelayan (hamba) bagi sesamanya (Mat.20:22-28).
Pola
hidup pelayanan yang ditunjukkan oleh Yesus, bagi para pengikut-Nya
menjadi sumber dan motifasi sekaligus menjadi model kehidupan untuk
saling melayani dan memperhatikan ditengah kehidupan sehari-hari[12].
Sehingga diakonia dipahami juga sebagai “pelayanan kasih” yaitu dengan
memperhatikan dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan fisik orang miskin,
yang sakit, yang lemah dan yang hidup dalam rupa-rupa kesusahan. Yang
menjadi subjek pelayanan diakonia adalah Allah sendiri melalui Yesus
Kristus, orang yang melakukannya (diakonos/diaken) berfungsi sebagai
alat untuk menyampaikan pemberian-Nya kepada manusia terutama yang
sedang menderita atau yang sedang dalam kesusahan[13].
Diakonia
sebagai pelayanan kasih identik juga dengan pelayanan keadilan, dalam
artian bertindak memerangi dan jika mungkin mengatasi penindasan,
ketidak adilan, kemiskinan dan kekurangmampuan serta berperan dalam
meningkatkan kemungkinan-kemungkinan hidup dalam terang Injili[14].
Sebab Yesus Kristus sendiri mengidentifikasikan diri-Nya dengan
orang-orang hina, orang tertindas dan orang miskin serta semua orang
lemah dalam rupa-rupa situasi yang dihadapi. Yang melayani mereka
berarti melayani-Nya juga ( Mat 40:45). Sebagai pelayanan kasih dan
keadilan perawatan diakonal adalah bertindak dalam mencegah dan
menyembuhkan.
Tindakan melakukan keadilan (tsedeqa,צדקה) dalam Perjanjian Lama (PL),
didasarkan atas segala perbuatan-perbuatan Allah yang senantiasa
sempurna dan adil dalam memelihara dan membela hidup manusia dan seluruh
ciptaan[15].
Dalam hal ini perbuatan manusia dalam melakukan keadilan merupakan
kesesuian antara apa yang dilakukan seseorang menurut standar Allah
meliputi prilaku dalam hidup, bertindak dan bersikap benar kepada Allah
dan kepada sesama, artinya mengarah kepada hubungan dan persekutuan yang
baik menurut kehendak Allah demi mewujudkan syalom[16].
Oleh karena itu tujuan mengupayakan keadilan adalah menghidupkan
kembali kebenaran dan keadilan Allah di tengah kehidupan manusia melalui
tindakan dan perbuatan yang nyata, terutama bagi mereka yang tertindas
dan terabaikan. Wujud nyata dari melakukan keadilan adalah, memelihara
dan melaksanakan seluruh perintah Allah, menyuarakan dan melaksanakan
keadilan sosial, mengarahkan perhatian terhadap orang miskin dan
mengupayakan pembebasannya, menyelamatkan orang tertindas dari tangan
penindas serta mebebaskan hamba dari perhambaan[17].
Dalam
arti yang luas, diakonia lebih dari pada perawatan terhadap orang yang
memerlukan bantuan saja akan tetapi meliputi pekerjaan untuk membangun
serta memperluas jemaat oleh mereka yang terpanggil menjadi pejabat
Gereja dan oleh anggota jemaat biasa.[18] Abineno[19]
menegaskan, bagi Gereja diakonia bukanlah merupakan suatu tugas
tambahan akan tetapi merupakan tugas dan pelayanan penuh yang esensinya
sama dengan pelayanan pemberitaan Firman. Hal tersebutlah yang menjadi
kekhasan palayanan diakonia,dengan melakukan pelayanan diakonia
ditengah-tengah orang-orang miskin dan yang berkekurangan berarti
termasuk juga dengan melakukan pelayanan pemberiataan Firman. Oleh sebab
itu diakonia bukanlah suatu hoby atau perbuatan amal, akan tetapi
merupakan ungkapan jati diri Gereja yang dipanggil menjadi tanda-tanda
pertolongan dan keselamatan bagi dunia. Sehingga Gereja melalui
pelayanannya menjadi kesaksian atas kasih-Nya terhadap yang miskin dan
yang menderita. Oleh karena itu diakonia yang hidup dan sadar merupakan
hasil kepercayaan kepada Yesus yang hadir di dunia sebagai seorang
pelayan (Luk 22:27).
Misi
Gereja adalah mewartakan Firman Allah dalam rangka mewujudkan kerajaan
Allah di dunia. Misi tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa diakonia
sebab diakonia adalah fungsi Gereja yang sebenarnya [20].
Oleh sebab itu, pelayanan tersebut bukanlah suatu pilihan atau
kekhususan bagi para pelayan tahbisan akan tetapi merupakan tugas dan
tanggung jawab bagi setiap orang yang telah menerima baptisan[21].
Tugas dari para pelayan tahbisan adalah membenahi warga jemaat, agar
menjadi pelaku diakonia demi pembangunan tubuh Kristus di dunia (
Efs.4:12). Oleh karena itu diakonia harus mampu memberdayakan, membangun
dan membentuk persekutuan persaudaraan sehingga dalam mewujudkan
persekutuannya jemaat saling bergantung dan saling melayani antara satu
dengan yang lain[22].
2.1.1 Dasar Teologi Pelayanan Diakonia
Pelayanan
diakonia selalu diwarnai dengan beberapa hal seperti, siapa yang
melakukan, siapa yang menjadi sasaran pelayanan tersebut dan dari siapa
pelaku menerima mandat atau misinya. Dalam PL diakonia dipahami sebagai tindakan pemeliharaan Allah atas umat-Nya.
Ia menunjukkan kasih-Nya atas orang-orang yang tidak berdaya seperti
orang asing yang ada di negri Israel, anak yatim, janda-janda, orang
miskin dan hamba[23].
Mereka sama sekali tidak mempunyai kedudukan ditengah masyarakat dan
dipandang sebagai orang-orang celaka, tidak mampu menolong dirinya
sendiri dan tidak mempunyai pertolongan untuk lepas dari keberadaannya.
Penderitaan yang mereka alamai cenderung terjadi karena penindasan,
ketidak pastian hukum dan menjadi korban orang-orang yang mengambil
keuntungan dengan cara yang tidak terpuji (2 Raj 4:1-7), hidup mereka
sama sekali hanya bergantung pada pertolongan Allah[24]. Tindakan
Allah dalam memelihara orang-orang yang tidak berdaya tersebut ditugasi
Allah kepada umat-Nya Israel (Ulangan 15:7-18). Bangsa Israel bertugas
dan bertanggungjawab memelihara dan melayani orang asing, anak yatim,
janda-janda dan orang miskin dengan jalan memberikan sebagian hasil
panennya bagi mereka untuk kelangsungan hidupnya. Hamba-hamba yang telah
bekerja pada mereka harus diberikan kemerdekaan pada setiap tahun Sabat
dan tahun Yobel (Im. 25:1-13).
Perayaan
sabat ditetapkan sekali dalam tujuh tahun yaitu pada tahun ke-tujuh
(satu tahun penuh) dengan ketentuan tanah harus dibiarkan begitu saja,
tidak diolah atau di usahai oleh pemiliknya setiap tanah yang tumbuh
dengan sendirinya ketika tanah itu ditinggalkan harus menjadi bagian
dari orang miskin. Ketentuan tersebut bertujuan untuk membebaskan
manusia dari kutukan yang tidak dapat dihindari dan menciptakan
kemungkinan-kemungkinan untuk memulai hidup yang baru (Im. 25:1-7).
Sementara itu tahun Yobel dirayakan setiap tujuh kali tujuh tahun.
Dengan ketentuan-ketentuan yang jauh lebih luas dari ketentuan tahun
Sabat, dimana bukan hanya tanah yang tidak boleh diolah akan tetapi
setiap tanah harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Setiap orang
yang menjadi budak karena hutang juga harus dibebaskan dari hutang dan
perbudakannya (Im.25:8-13).
Hukum tahun Sabat dan tahun Yobel merupakan ketentuan yang harus di patuhi oleh bangsa Israel untuk mengingatkan bahwa seluruh masa kehidupan adalah milik Allah[25].
Tahun Sabat dan tahun Yobel memotifasi bangsa Israel untuk mengingat
perbuatan dan tindakan Allah yang membebaskan dan menuntun Israel dalam
perjalanan keluar dari perbudakan Mesir. Oleh karena itu pada setiap
perayaan tahun Sabat terdapat ketentuan bahwa bangsa Israel setiap tujuh
tahun harus secara umum menghapuskan hutang (bnd.Ul.15:1ff) dan setiap
orang yang karena kemiskinan menjadi budak harus dibebaskan dan dibekali
untuk membangun kembali kehidupannya pada perayaan tahun Yobel.
Perayaan tahun Sabat dan Tahun Yobel merupakan kerangka dari persekutuan
diakonia bahwa setiap orang mendapatkan haknya sesuai dengan maksud
Allah. Setiap orang terpanggil dengan ketaatan penuh syukur untuk
melayani dan mengasihi sesama. Palayanan yang harus dijalankan oleh
bangsa Israel bukanlah perbuatan amal akan tetapi sebagai akta
(perbuatan) keadilan yaitu pelayanan kasih terhadap orang yang berhak
dan patut menerimanya[26].
Hal tersebut merupakan konsekwensi yang harus dijalani karena Allah
telah membebaskan bangsa itu dari perbudakan dan kesengsaraan yang
dialami di tanah Mesir. Allah memperdulikan bangsa Israel dan menyatakan
kasih-Nya sebagai penyelamat dan penebusnya dibawah pimpinan Musa (Kel.
2:24;3:7-8). Pembebasan dari Mesir adalah tindakan Allah dalam melayani
dan memberikan keselamatan terhadap umat-Nya Israel.
Dalam
Perjanjian Baru (PB), tugas untuk melaksanakan diakonia terdengar dalam
kotbah Yesus Kristus tentang penghakiman yang terakhir (Mat. 25:31-46).
Yesus hadir dengan mengidentifikasikan
diri-Nya dengan saudara-saudara-Nya yang hina, yaitu orang-orang lemah,
yang miskin dan tidak berdaya dalam rupa-rupa situasi seperti yang
lapar, yang sakit yang tidak punya tempat tinggal dan para tawanan yang
ada di penjara. Yesus menyatakan bagi siapapun yang melayani orang-orang
tersebut, sama halnya dengan melayani-Nya. Akan tetapi yang tidak
melayani mereka, akan menerima siksaan yang kekal (ayat 45).
Berkaitan dengan itu dalam Kisah Rasul 4:32-35, melalui pengajaran para
Rasul, jemaat dalam persekutuannya telah memiliki kesadaran untuk saling
melayani satu dengan yang lain, dengan jalan membagai-bagikan milik
kepunyaannya kepada mereka yang tidak memiliki sehingga mereka semua
hidup dalam kasih karunia yang melimpah. Diakonia juga merupakan wujud
dari “berita kesukaan atau kabar baik” (ευαγγγελιον) bagi orang-orang
miskin, menghibur orang-orang yang berduka, menguatkan orang-orang yang
lemah, memberi makan orang-orang yang lapar, menyembuhkan orang-orang
yang sakit, yang buta, yang lumpuh. Hal itulah yang dikerjakan Yesus
selama hidu-Nya (Luk. 4:18-19). Melalui pelayanan diakonia maka berita
kesukaan diwujudkan dan semua orang menerima keselamatan, kasih karunia
dan kebebasan.
Dengan
demikian pelaksanaan pelayanan diakonia tersebut berorientasi pada
tindakan Allah dalam kasih-Nya dalam memberikan pembebasan dan
keselamatan kepada umat-Nya yang menderita dan yang menjadi korban
ketidakadilan. Hal tersebut diawali dengan pembebasan bangsa Israel dari
perbudakan Mesir dan disempurnakan dalam Yesus Kristus melalui
kehadiran-Nya dan pekerjaan serta pelayanan-Nya di tengah dunia. Sebagai
konsekwensi dari kasih Allah tersebut maka seluruh orang percaya juga
harus mampu menunjukkan kasihnya melalui perbuatan dan menegakkan
keadilan bagi mereka yang membutuhkan sebagai wujud pelayanan kepada
Allah dan sesama.[27]
Dalam hal ini, pelayanan diakonia adalah tugas dan tanggung jawab semua
orang percaya untuk menyatakan kasih Allah kepada sesama yang menderita
dan mewujudkan keadilan bagi mereka.
2.2 Makna Diakonia Transformatif
Pada umumnya Gereja dalam pelayanan diakonianya memahami dan telah melaksanakan dua model pelayanan diakonia yaitu, diakonia karitatif dan diakonia reformatif.
Akan tetapi beberapa tokoh berpendapat bahwa pelaksanaan kedua model
diakonia tersebut pada masa kini telah kurang memadai, sebab ditengah
kehidupan masyarakat telah terjadi masalah yang multiaspek dan
multidimensional akibat segala bentuk ketidakadilan yang kian marak
terjadi.
Victor Tinambunan[28] berpendapat, pelaksanaan model diakonia karitatif (pemberian bantuan/amal) dengan analogi “ memberi ikan dan roti kepada mereka yang lapar”,
meskipun pada prinsipnya adalah baik akan tetapi tidaklah cukup sebab
hanya akan menciptakan ketergantungan. Demikian halnya dengan model
diakonia reformatif yang menekankan aspek pembangunan dengan analogi “pemberian pancing dan keahlian memancing”,
juga kurang bermanfaat jika keahlian dan ketrampilan tersebut tidak
dapat digunakan bila peluang dan akses tidak tersedia baginya. Analogi
model diakonia transformatif adalah “apabila
ada orang lapar jangan hanya diberi roti, pancing akan tetapi juga
menolongnya mendapatkan akses untuk memancing serta memberikan hak untuk
menggunakannya”.
Novembri Thoeldahono[29]
memaparkan, dalam menghadapi masalah yang multiaspek dan
multidimensional masa kini, Gereja harus mampu melakukan revisi,
reorientasi serta rekonstruksi ajaran-ajaran, prilaku dan pelayanannya
supaya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi manusia, dunia dan
peradabannya, sehingga melaluinya Gereja akan mampu menjalankan
pelayanan yang transformatif . Diakonia transformatif merupakan
implementasi misi pembebasan oleh Gereja dalam menghadapi kenyataan
sosial-ekonomi politik yang diwarnai dengan ketidak adilan, kemiskinan
dan pelanggaran-pelaggaran terhadap hak asasi manusia[30].
Misi pembebasan tersebut merupakan keterlibatan Gereja dalam misi Allah
bagi manusia yang terbelenggu oleh dosa, sehingga Gereja harus
bertindak sebagai nabi dalam menghadapi kekuatan dominasi orang-orang
atau lembaga-lembaga yang membelenggu atau menindas yang lemah dan tidak
berdaya. Oleh karena itu Gereja dalam diakonia transformatif berfungsi
menyuarakan keadilan dan kebenaran terhadap para penguasa serta
bertindak dalam mendorong dan mendampingi orang-orang miskin dan yang
menjadi korban ketidak adilan untuk memperjungkan hak-hak hidupnya[31].
Salah
satu aspek yang ditekankan melalui diakonia transformatif tersebut
adalah terbentuknya suatu persekutuan (koinonia) dalam tatanan kehidupan
manusia yang baru yang hidup dalam ikatan kasih dan persaudaraan[32].
Koinonia mengandung makna persekutuan dengan Kristus dan persekutuan
antar sesama yang mencakup orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan
didalamnya selalu ada sikap, aktifitas dan tanggung jawab terhadap
pembangunan persekutuan[33].
Hal itulah yang menjadi panggilan keselamatan yang di ajarakan Yesus
kepada pengikut-Nya dalam mewujudkan kedatangan kerajaan Allah ditengah
dunia.
Diakonia transformatif merupakan tindakan Gereja dalam melayani jemaat dan masyarakat secara multidimensional (roh, jiwa, dan tubuh) dan juga multi sektoral (ekonomi, politik, hukum dan agama)[34].
Artinya Gereja melalui pelayanan diakonia bukan lagi sekedar melakukan
tindakan-tindakan amal meskipun hal itu masih perlu dilakukan melainkan
tindakan transformatif terhadap sistim serta struktur kehidupan manusia
demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan.
Diakonia
dalam Perjanjian Lama merupakan tindakan Allah dalam melayani dan
membebaskan umat-Nya dari segala bentuk kemelaratan dan ketidakadilan
yang dialami umat-Nya. Kehadiran Yesus di dunia dengan jalan
mengidentifikasikan diri-Nya sebagai orang miskin adalah untuk melayani
dan memberikan keselamatan kepada dunia terutama kepada mereka yang
tertindas, lemah dan tersingkirkan ditengah masyarakat (Mat 25:31-46).
Hal tersebut menandakan bahwa Yesus tidak pernah kompromi terhadap
segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Ia menentang segala praktek
kekerasan struktural, ketidakadilan, kejahatan dan keserakahan dalam
kehidupan manusia[35].
Pelayanan yang dikerjakan Yesus bertujuan melakukan transformasi atau
pembaharuan dalam kehidupan sosial umat manusia, khususnya kepada mereka
yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi dan politik ditengah
kehidupannya, sebagaimana Ia menyampaikan kotbahnya yang pertama kepada
orang yang mengikuti-Nya[36].
“Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab itu ia mengurapai Aku, untuk menyampaikan
kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk
memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19).
Dalam
hal ini pembaharuan yang dikerjakan Yesus adalah bersifat lengkap dan
utuh, meliputi struktur sosial, budaya dan hati manusia. Diakonia
trasformatif merupakan pelayanan pembelaan dalam membantu mereka yang
menjadi korban ketidakadilan untuk memepertahankan parasyarat hidupnya
seperti tanah, hak asasi, hak pendidikan, kesehatan serta kebebasan
dalam mengembangkan perekonomiannya[37].
Intinya diakonia Gereja memiliki akses untuk mengontrol
kebijakan-kebijakan publik menyangkut nasib hidup manusia dengan jalan
Gereja menyuarakan hak-hak orang-orang miskin dan tersingkir ditengah
masyarakat juga ikut serta dalam mencari pemecahan persoalan yang mereka
alami secara bertanggung jawab. Kepada para penguasa dan
lembaga-lembaga pemerintahan, Gereja juga dapat menyuarakan hal tersebut
sebab pemerintah dan penguasa adalah hamba atau abdi Allah dalam
menegakkan keadilan-Nya ditengah dunia (Rom.13:4 bnd 1 Ptr 2:13). Dalam
kenyataannya diakonia trnasformatif mengambil bentuk pelayanan-pelayanan
pembelaan yang orientasinya adalah hidup yang lebih manusiawi dan
beradab dalam menyongsong datangnya kerajaan Allah Manusia butuh makanan
tetapi hendaknya makanan itu diperoleh dengan keadilan dan kebebasan[38]. Model diakonia transformatif atau pembebasan tersebut sebagaimana pemaparan Novembri Choeldahono[39], dipelopori oleh Gereja di Amerika Latin sebagai usaha redefinisi pengertian tentang Gereja dan tritugasnya (marturia, koinonia dan diakonia),
untuk menjawab kemiskinan yang diderita oleh warga jemaat dan
masyarakat. Agenda diakonia transformatif yang perlu diupayakan Gereja
menyangkut hal-hal berikut:
- Informasi
Gereja
berperan menyampaikan masalah-masalah tentang penegakan HAM, keadilan
ekonomik-politik, gender, utang luar negeri kepada masyarakat denga
cara imajinatif dan profetis dan membebaskan serta menolong mereka yang
lemah dan terbungkam supaya dapat didengar dan diperhatikan hak
hidupnya oleh orang lain.
- Forum-Forum
Gereja
menjadi inisiator untuk mengadakan forum-forum mengenai penegakan dan
perlindungan HAM, keadilan ekonomi dan politik, gender, lingkungan hidup
serta dilema kehidupan yang dialami masyarakat. Hal-hal yang perlu
dibicarakan berkaitan dengan peningkatan taraf hidup warga, seperti
masalah pembangunan ekonomi yang berorientasi pada perwujudan kehidupan
manusia yang berkeadilan, sistem pertanian organik dan kesehatan
masyarakat miskin, masalah penyiksaan dan penyalahgunaan kekuasaan serta
masalah rasial.
- Pembangunan pusat-pusat studi
Gereja
bersama-sama lembaga lain dapat mebangun pusat-pusat studi untuk
membahas secara bersama-sama masalah-maalah dalam kehidupan sosial dan
memikirkan jalan keluarnya bersama-sama.
2.3 Globalisasi
Globalisasi diambil dari kata global yang maknanya ialah universal atau meliputi seluruh dunia[40].
Defenisi globalisasi secara konkret sulit ditentukan, karena istilah
globalisasi pada dasarnya menyangkut seluruh aspek kehidupan. Upaya
untuk memahami globalisasi hanya berdasarkan gejala-gejala dan sifat
yang diakibatkannya yang dapat dilihat ditengah-tengah kehidupan sosial
masyarakat[41].
Globalisasi telah menjadi wacana umum ditengah kehidupan pada masa
kini. Hal itu berkaitan dengan sebutan yang diberikan terhadap jaman
yang kini umat manusia sedang hidup didalamnya yaitu era globalisasi.
Istilah globalisasi berhubungan dengan proses penyatuan dan keterkaitan
umat manusia dan bangsa yang ada di seluruh pelosok dunia, kedalam suatu
wadah, yang dibina melalui bentuk-bentuk interaksi atau kerjasama
meliputi seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian gambaran kehidupan
umat manusia ditengah globalisasi adalah hidup dalam “desa global” (global vilage)
dibawah penyatuan dimensi ruang dan waktu, batas-batas suatu negara
menjadi bias, dan seluruh manusia yang tinggal didalamnya mau tidak mau
harus mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditentukan.[42]
Globalisasi
sebagai wujud persatuan antar manusia dan antar negara dalam abad-20
muncul sekitar tahun 1980, yang dihubungkan dengan kebangkitan ekonomi
internasional serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya bidang komunikasi serta transportasi[43]. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
sarana pendukung yang sangat tepat bagi kelancaran jalannya proses
globalisasi. Dengan pemanfaatan sarana komunikasi dan transportasi,
hubungan kerjasama jarak jauh semakin lancar dan waktu perjalanan antar
daerah bahkan negara dapat dipercepat. Proses terjalinnya kerjasama
antar negara dalam berbagai sektor semakin mudah tercapai. Begitu juga
dengan perkembangan dunia usaha (industri), semakin mampu meningkatkan
produksi dan distribusi barang, modal dan jasa antar lintas batas.
Dengan demikian proses berlangsungnya globalisasi sangat berpengaruh
terhadap perekonomian dunia juga terhadap aspek kehidupan lainnya
seperti budaya dan agama. Beberapa ciri yang menandakan wujudnya proses
globalisasi tersebut adalah sebagai berikut[44]:
- Perubahan dalam proses ruang dan waktu. Terjadi dengan perkembangan produk-produk industri dan teknologi seperti hand phone, televisi satelit dan internet. Menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepat sementara melalui kunjungan para wisatawan manca negara dapat dirasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
- Terciptanya kesalingtergantungan antar negara dalam bidang pasar dan produksi ekonomi sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional dan peningkatan hubungan kerjasama dibawah dominasi organisasi global seperti World Trade Organitation (WHO), Asia Pasific Economic Coorporation (APEC), ASEAN Free Trade Area (AFTA), Multilateral Agrement on Invesment (MAI), Transnasional Corporations (TNCs), International monetary Found (IMF) dll
- Peningkatan interaksi kultural dalam skala global. Dirasakan melalui transmisi berita dan olah raga internasional.
- Meningkatnya masalah global, misalnya dalam bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dll.
2.3.1 Globalisasi Ekonomi
Dalam sektor perekonomian, globalisasi dipahami sebagai proses terintegrasinya perekonomian seluruh manusia dan bangsa kedalam sistem perekonomian global yaitu pasar tunggal (one global market), yang dikendalikan oleh modal global (global capital)[45]. Dengan dibentuknya sistem perekonomian global maka akan tercipta proses kesalingtergantungan (Interdependence) dan keterhubungan (interconennetedness) seluruh manusia dan negara pada tingkat perluasan, kecepatan dan pengaruh[46].
Misalnya, apabila masyarakat Indonesia semakin banyak yang berminat
untuk memiliki kendaraan bermotor roda dua (honda, buatan jepang), maka
produksi honda di jepang akan ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan
konsumennya di Indonesia. Sebaliknya apabila permintaan untuk kendaraan
tersebut semakin menurun maka produksi akan dikurangi untuk menghindari
kerugian.
Motor
penggerak atau jantung dari sistem perekonomian global adalah mekanisme
pasar bebas, yang dipelopori oleh salahsatu negara pencetus globalisasi
yaitu Amerika Serikat.[47]
Ide pemberlakuan pasar bebas muncul pada dasawarsa 90-an, dan semakin
matang melalui keruntuhan Uni Soviet, berakhirnya masa komunisme dan
keluarnya sosialisme dari medan internasional.[48]
Ide tersebut diklaim sebagai produk yang relevan untuk memperbaiki
perekonomian dunia, serta upaya mengahapuskan sisa-sisa paham sosialisme
secara total.
Awalnya badan organisasi yang dibentuk untuk mengatur kelancaran jalannya pasar bebas, sebagaimanan pemaparan Mansur fakih[49] adalah, General Agreement on Tarif and Trade (GATT), kemudian dibentuk World Trade Organisation
(WTO). GATT merupakan kumpulan aturan internasional yang mengatur
prilaku perdagangan antar pemerintah, serta sebagai pengadilan untuk
menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antara negara. Dibangun
atas keyakinan bahwa persaingan bebas (survival of the fittesst)
akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip efektivitas dan
efisiensi. Sedangkan WTO dibentuk sebagi mekanisme yang terpenting
sebagai forum perundingan dalam perdaganan tingkat global.
Konsekwensi
jalannya pasar bebas adalah dengan penghapusan seluruh hambatan
terhadap arus modal, barang dan jasa, misalnya pajak atau tarif bea
masuk produk luar negri kedalam suatu negara termasuk juga penghapusan
ketentuan batas-batas suatu negara. Upaya mewujudkan hal tersebut
dilaksanakan melalui penciptaan dan pengalokasian Zona Proses Eksport
(EPZs) dengan syarat, suatu negara harus mampu dan bersedia
mengembangkan aturan global minimal menyangkut aturan perburuhan dan
pajak domestik, agar menjadi daya tarik para investor dan
perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) untuk masuk dan beroperasi
dalam suatu negara.[50]
Dengan demikian jalannya perekonomian dunia bukanlah perekonomian
dengan sistem tertutup melainkan perekonomian terbuka atau pasar bebas.
Kepada semua pihak diberikan kebebasan untuk membangun dan mengembangkan
industrinya diberbagai negara. Keberhasilan setiap negara terutama
negara berkembang dalam pasar bebas adalah dengan menyesuaikan diri
terhadap peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama.
Menurut Tanri Abeng[51], wujud nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut :
· Globalisasi produksi
Perusahaan
berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi
menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang
rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun
karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini
menjadi lokasi manufaktur global.
· Globalisasi pembiayaan
Perusahaan mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi dari luar negri dengan pola BOT (build-operate-transfer).
· Globalisasi tenaga kerja
Pemanfaatan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional
diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional
atau juga para buruh kasar yang biasanya didatangkan dari negara
berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
· Globalisasi jaringan informasi
Masyarakat
suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari
negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui:
televisi, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi
yang semakin maju, membantu meluasnya pemasaran ke berbagai belahan
dunia untuk barang yang sama misalnya melalui kehadiran pusat-pusat
perbelanjaan seperti, mall, supermarket, hipermarket, juga dengan
kehadiran industri-industri makanan seperti Mcdonald, Kentucci Fried
Chikhen (KFC). Akibatnya selera
masyarakat dunia baik yang berdomisili di kota maupun didesa menuju
pada selera yang sama atau selera global.
· Globalisasi perdagangan
Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat dan ketat.
2.3.2 Dampak Globalisasi Ekonomi
Diterapkannya
globalisasi ekonomi merupakan langkah untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi dunia menuju kemakmuran ekonomi global. Disatu sisi globalisasi
ekonomi menjanjikan keuntungan bagi negara-negara yang mengikutinya
termasuk masyarakat yang ada didalamnya. Akan tetapi disisi lain perlu
dipertanyakan keberadaannya, apakah semua negara dan semua lapisan
masyarakat diuntungkan. Beberapa pandangan mengasumsikan, bahwa
berlangsungnya proses globalisasi ekonomi adalah merupakan bentuk baru
dari imperialisme dan kolonialisme modern, yang didisain melalui jalur
ekonomi[52].
Sebab pada kenyataannya pusat kekuatan pasar hanya didominasi oleh
negara-negara maju (pada umumnya Eropa) yang sebelumnya melakukan
penjajahan dengan cara kolonialisme politik dan imperialisme. Akan
tetapi bentuk kolonialisme dan imperialisme ekonomi, tidak dilakukan
oleh pemerintahannya melainkan oleh para pelaku ekonomi yaitu para
pengusaha dalam perusahaan transnasionalnya (TNCs).
Hal
itu juga dapat diperhatikan melalui upaya yang ditempuh demi kelancaran
jalannya pasar bebas sebagi motor penggerak globalisasi ekonomi. Dimana
kebijakan-kebijakan nasional suatu negara harus direformasi meliputi
kebijakan bidang pertanahan, perpajakan, dan investasi. Reformasi
kebijakan tersebut harus disesuaikan dengan aturan dan prinsip pasar
global yang ditetapkan dalam badan-badan organisasi dunia seprti GATT
dan WTO. Penyesuaian aturan dan kebijakan suatu negara kedalam aturan
organisasi dunia tersebut menjadi suatu strategi yang ditempuh agar
perusahaan-persahaan transnasional (TNCs) lebih mudah memasuki berbagai
negara untuk menanamkan modal dan mengembangkan perindustriannya[53].
Dengan masuknya perusahaan transnasional kedalam suatu negara (negara
berkembang) satu sisi akan mendatangkan devisa. Akan tetapi disisi lain
dapat mengakibatkan kehancuran terhadap aset-aset suatu negara, seprti
sumberdaya alam dan tenaga kerja (buruh). Pemerintah suatau negara tidak
dapat melakukan terlalu banyak intervensi atau berbagai kebijakan
terhadap perusahan trans nasional yang beroperasi di negaranya. Sebab
segala kebijakan telah disesuaikan dengan kebijakan yang ada dalam badan
organisasi dunia (GATT).
Oleh
karena itu jalannya globalisasi ekonomi dengan sistim mekanisme pasar
bebas tidak memberikan keuntungan kepada semua pihak, akan tetapi hanya
kepada sebagian pihak yaitu negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan
trans nasional yang memiliki modal besar serta keahlian dan strategi-strategi yang unggul dalam sistem perekonomin. Dalam hal ini Novembri Cheoldahono[54]
berpendapat bahwa globalisasi hanya melayani kebijakan-kebijakan
neo-kolonialisme dan memperlemah kemerdekaan dan partisipasi negara dan
rakyat kecil. Bahkan menurutnya, IMF yang berperan sebagi “nabi”
penyelamat melalui pemberian bantuan “paket IMFnya” bagi negara-negara
yang mengalami keterpurukan ekonomi hanyalah instrumen kapitalisme
global karena kenyatannya negara peminjam harus melakukan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program),
melaluinya IMF berhak mengontrol usaha-usaha ekonomi yang ada dinegara
tersebut. Kesan yang ditimbulkan adalah perekonomian tidak membaik, akan
tetapi menimbulkan ketergantungan
negara-negara maju yang membangun negaranya diatas negara-negara
miskin, dengan kata lain “simiskin membiayai si kaya”.
Sistim
pasar bebas menciptakan paradigma baru, yaitu bahwa sumber kekuasaan
dan otoritas adalah kemakmuran dan modal. Kebebasan untuk memanfaatkan
modal merupakan kunci keberhasilan ditengah persaingan pasar. Dengan
demikian pasar bukan lagi hanya transformasi barang tetapi juga buruh,
tanah, manusia dan kebudayaan menjadi komoditas yang dapat diperjual
belikan. Semangat manusia ditengah pasar bebas hanyalah motivasi
keuntungan dan kompetisi, yang mengganti cinta dengan agresi, kerjasama
dengan kompetisi dan komunitas dengan individualistis[55].
Darwin Lumbantobing[56]
memaparkan, pola hidup ditengah globalisasi pada umumnya berhubungan
langsung dengan ekonomi. Semua kegiatan manusia baik pribadi, kelompok,
negara dan bangsa-bangsa didunia selalu didasarkan pada pertimbangan
ekonomi. Prinsip ekonomi ditengah globalisasi sekaligus menjadi prinsip
umum didalam kehidupan masyarakat, produksi yang sesuai dengan pangsa
pasar itulah yang dibutuhkan masyarakat, produksi yang berkualitas belum
tentu menjadi kebutuhan masyarakat. Sementara itu Einar M. Sitompul[57] mengatakan, kehadiran globalisasi dan sistem mekanisme pasar bebasnya telah menggeser sosok manusia dari mahluk berpikir (homo sapiens) menjadi mahluk ekonomi (homo economicus),
dimana manusia menjadi sekedar tenaga kerja atau sumber daya sedangkan
aspek spiritual kemanusiaan diabaikan. Kompetisi dinilai lebih penting
dari koperasi dan kolaborasi. Masyarakat hanya dinilai sekumpulan
individu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan material segelintir
orang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa globalisasi dengan
prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas telah meresap dan dihidupi oleh
masyarakat dan mengakibatkan berbagai gejolak ditengah kehidupan.
Seluruh aspek kehidupan dipandang dari sudut ekonomis. Sistem
perekonomian tidak lagi suatu sistem yang netral yang didalamnya ada
prinsip saling diuntungkan, akan tetapi menjadi ajang kompetisi untuk
saling menaklukkan.
Globalisasi
dan mekanisme pasar bebas tidak sepenuhnya memberikan keuntungan bagi
semua negara dan masyarakat yang ada didalamnya. Sebab dalam pasar bebas
tersebut keberhasilan ditentukan dalam kompetisi menjadi yang terbaik.
Tentunya yang terbaik hanyalah para pemilik modal yang mampu mengolah
usahanya sesuai dengan kebutuhan pasar. Berkaitan dengan itu pemodal
kecil dan yang tidak memiliki keahlian akan menjadi korban
pengeksploitasian bahkan pemodal
kecil akan tersingkir ditengah ketatnya persaingan pasar yang
indikasinya mengakibatkan kesengsaraan dan kemiskinan semakin bertumbuh
subur. Dalam hal ini contoh konkret yang dapat disaksiakan adalah,
munculnya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti Supermarket dan bahkan
Hipermarket ditengah kehidupan masyarakat, yang menyediakan seluruh
keperluan manusia termasuk kebutuhan pokok sehari-hari. Hal tersebut
dapat mengakibatkan semakin tersingkirnya para pemilik modal kecil yang
menjalankan usahanya di pasar-pasar tradisional bahkan lambat-laun
usahanya akan gulung tikar.
Persoalan
mengenai buruh atau tenaga kerja juga mejadi salah satu masalah
ditengah globalisasi ekonomik. Salah satu ketertarikan perusahaan trans
nasional beroperasi dalam suatu negara berkembang berkaitan dengan
ongkos atau uapah tenaga kerja yang rendah.[58]
Dalam kancah perdagangan pasar bebas buruh atau tenaga kerja dipandang
sebagai komoditas dagang yang turut memberikan andil dalam perolehan
keuntungan bagi perusahaan-perusahaan transnasional.[59]
Kedudukan buruh atau tenaga kerja tidak lebih dari faktor produksi
layaknya sebuah mesin produksi dalam menghasilkan barang. Sementara itu
pemilik faktor produksi memiliki kuasa untuk mengontrol faktor-faktor
produksi yang ada padanya untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian
upah tenaga kerja yang menjadi bagian dari ongkos produksi ditekan dan
di upayakan seminim mungkin untuk menghindari kerugian. Hal tersebut
terjadi karena ditengah berlangsungnya proses globalisasi ekonomi, para
pengusaha dan pemilik modal telah menjadi mahluk ekonomi yang kehilangan
jatidiri sebagai mahluk sosial[60].
Segala bentuk pengeluran termasuk pengeluaran yang bersifat sosial
selalu dipandang sebagai investasi dalam rangka memaksimumkan
keuntungan. Dalam keadaan tersebut posisi tenaga kerja atau buruh juga
masyarakat miskin terutama yang minim SDM tidak akan mampu berkompetisi
akan tetapi menjadi pelengkap penderita yang posisinya tidak terlindungi
dan kedaulatannya terpasung[61].
2.4 Warga Jemaat Ekonomi Lemah
Warga
jemaat ekonomi lemah yang dimaksud adalah warga jemaat yang berada
dalam garis kemiskinan, yang hidupnya serba berkekurangan terutama dalam
kepemilikan materi atau harta. Lebih tepatnya disebut dengan warga
jemaat yang mengalami kemiskinan material yang mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hidup, terutama kebutuhan pokok sehari-hari. Menurut Soritua Nababan sebagaimana dikutip oleh Malcolm Brownlee[62],
Kemiskinan material sering disertai dengan kemiskinan jiwa. Orang-orang
miskin sering merasa tidak berdaya dan rendah diri karena dianggap
rendah oleh orang-orang yang lebih kaya, bersikap masa bodoh dan
fatalistis karena menganggap diri kurang mampu merubah keadaan dan
kurang perduli terhadap agama karena pikirannya selalu tertuju untuk
mencari nafkah. Berkaitan dengan itu kemiskinan dapat dikatakan dengan
keadaan yang serba berkekurangan dalam segala hal baik pangan, sandang,
pendidikan, lapangan pekerjaan, nilai-nilai hidup, cita-cita dan impian,
kekurangan keadilan, kebebasan dan perdamaian.
Dalam
Alkitab, kemiskinan mempunyai pengertian ganda. Arti yang pokok adalah,
keadaan yang buruk dan keji yang menghina martabat manusia dan
berlawanan dengan kehendak Allah. Dalam Perjanjian Lama (PL), orang
miskin disebut sebagai ebyon orang yang menginginkan dan membutuhkan sesuatu, disebut juga sebagi dal orang yang sangat lemah dan tidak berdaya dan ani yang terbungkuk, diinjak dan diperas oleh orang lain serta orang hina yang memikul beban berat[63].
Ditengah kehidupan masyarakat pada jaman PL, kemiskinan dianggap
sebagai suatu kutukan akibat dari perbuatan sendiri misalnya, karena
kemalasan atau kebodohan (Ams.6:9-11), pesta pora dan kemabukan (Ams.
21:17;23:20) dan akibat malapetaka atau bencana (Kel 10:4-5)[64].
Akan tetapi penyebab kemiskinan yang paling umum adalah adanya
keserakahan dalam diri manusia yang menyalahgunakan kekuasaannya dan
memanfaatkan kelemahan masyarakat miskin sehingga hidupnya semakin
miskin. Orang berkuasa cenderung melakukan cara-cara yang keji untuk
memperkaya diri sendiri misalnya tindakan pemerasan dan kekerasan
(Ams.3:10;4:1), kecurangan dalam perdagangan (Ams.8:5), kecurangan dalam
pengadilan dengan menerima suap (Ams.5:7,8) dan perdagangan budak
(Ams.2:6)[65].
Ditengah bangsa Israel para nabi utusan Allah menyerukan kemiskinan
bukan merupakan nasib buruk yang ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi
manusia sendiri yang harus bertanggung jawab atas adanya kemiskinan dan
manusia sendiri yang harus bertindak untuk mengatasi kemiskinan
tersebut. Untuk memperhatikan nasib orang-orang misikin ditengah bangsa
Israel ditetapkan berbagai atauran agar dapat memeperbaiki kehidupannya,
salah satu peraturan yang paling revolusioner adalah tahun Sabat dan
tahun Yobel. Dalam tahun Sabat dan tahun Yobel, semua anggota umat harus
mendapat kebebasan dan kembali kepada keadaannya yang asli yaitu
keadaan yang adil dan benar[66].
Dalam Perjanjian Baru (PB), orang-orang miskin pada umumnya disebut Ptokhos,
yang berarti hidup serba berkekurangan dan melarat, menunjuk kepada
keadaan yang semiskin-miskinnya dan hanya berharap pada belas kasihan
orang lain dengan mengemis[67].
Penyebab dari kemiskinan tersebut berupa tindakan tidak adil oleh
majikan terhadap orang-orang yang dipekerjakan, yang harus bekerja keras
sementara upah tidak dipenuhi atau ditahan. Kemiskinan juga dialami
karena harus membayar beberapa jenis pajak yang sangat tinggi yaitu
pajak atas tanah, pajak umum kerajaan dan pajak jiwa. Beban pajak
tersebut dikenakan terutama bagi masyarakat Yahudi yang ada dibawah
kekuasaan pemerintahan Yunani-Romawi[68].
Pada
dasarnya hidup dalam kemiskinan bukanlah suatu keadaan yang diterima
begitu saja tanpa suatu reaksi untuk mengatasinya. Dengan kata lain
seseorang tidak pernah bercita-cita untuk hidup dalam kemiskinan dan
membiarkan dirinya melarat. Kemiskinan mungkin saja terjadi akibat
faktor dari luar diri manusia, misalnya akibat
ketidakadilan struktural yang terdapat dalam masyarakat dimana
seseorang tinggal. Dalam artian struktur masyarakatlah yang miskin,
karena tidak mampu memberi jalan keluar untuk mengatasi permasalahan
yang sedang terjadi. Ketidak adilan struktural yaitu adanya
ketidakadilan sosial dan telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang diakibatkan oleh sikap perorangan atau suatu
kelompok yang tidak berbuat adil akan tetapi mementingkan dirinya
sendiri[69].
Hal itulah yang dapat mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial
ditengah masyarakat. Dalam kaitan ini, akan tercipta kelompok masyarakat
yang hidupnya kaya dan kelompok
lain yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Sebagai contoh dampak
dari kemiskinan struktural tersebut adalah terjadinya krisis ekonomi
yang melanda beberapa negara Asia termasuk Indonesia pada
tahun 1997. Ditengah bangsa Indonesia krisis Ekonomi terjadi karena
kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru dan tidak memperhatikan
kepentingan rakyat, akibatnya rakyat kecil menderita, jumlah orang
miskin berlipat ganda begitu juga korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)[70].
Menurut Gustavo Guitierrez,[71] sebagaimana dikutip oleh Martin Chen, kemiskinan sebenarnya tidak muncul begitu saja dalam kehidupan manusia akan tetapi terjadi karena sistem sosial yang ada.
Apabila kemiskinan terjadi akibat kemalasan, kurang kreatif dan tidak
sanggup hidup kompetitif dapat diatasi dengan pendidikan, pembinaan dan
pelatihan-pelatihan. Akan tetapi berbagai bentuk kemiskinan tersebut
tidak dapat diatasi sebab struktur sosial yang berada dalam kehidupan
masyarakat telah rusak. Oleh karena itu hanya dengan perubahan sosial
radikal orang miskin nanpu mendapat kesempatan untuk hidup secara layak.
Dalam kaitan itu Guiteres berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di
Amerika Latin berkaitan dengan aras sosialogis yaitu ketidak adilan
sosial dalam struktur ekonomi, politik maupun sosial budaya. Serta aras
teologis yang menunjuk adanya situasi penuh dosa ditengah masyarakat.
Pilihan
mendahulukan dan membela kaum miskin adalah suatu hal yang selayaknya
dilakukan. Sebab mereka memiliki hak untuk diperlakukan sebagai seorang
pribadi, mereka adalah pelaku sejarah dan subjek pembangunan dalam
kehidupan. Kemiskinan bukan keadaan yang bahagia tetapi berada dalam kesengsaraan.
Kaum miskin adalah mereka yang menjerit dalam keberadaannya yaitu para
petani miskin, buruh-buruh pabrik, penduduk marginal diperkotaan, para
pengangguran, anak-anak terlantar, kaum jompo dan yang dipermiskinkan
oleh ketidak adilan[72].
Bab III
Gereja dalam era globalisasi
3.1 Gejala-gejala sosial ditengah era globalisasi
Proses
berlangsungnya globalisasi ditengah dunia dewasa ini telah meresapi
segala bidang kehidupan manusia baik sosial, politik, agama, budaya dan
ekonomi. Arus globalisasi yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi menjadi sebuah kekuatan yang mengubah (transform) tatanan kehidupan sosial dalam lingkungan masyarakat, keluarga bahkan pada identitas pribadi[73]. Gejala yang muncul dalam kehidupan manusia akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sosial reflexivity, gejala tersebut ingin mengatakan bahwa manusia zaman sekarang terdiri dari clever people
atau orang-orang cerdas. Akan tetapi bukan karena memiliki kemampuan
intelektual (IQ) yang tinggi, melainkan karena memiliki pengetahuan
tentang banyak hal melalui berbagai jenis mass media
atau sarana informasi sehingga secara otonom dapat memilih pengetahuan
yang disukai untuk dipergunakan dalam kepentingan sehari-hari[74].
Ditengah
berlangsungnya proses globalisai, ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang sangat pesat. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut terkadang jauh lebih cepat melaju dibanding kemampuan
sebagaian orang untuk mengikuti dan menguasainya. Berkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, setiap orang dapat dengan mudah memperoleh
informasi dan pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari
misalnya melalui buku, majalah, koran, televisi, internet serta telefon
seluler. Berkaitan dengan itu, dalam diri manusia muncul suatu sikap
hidup yang serba praktis dan instan untuk memperoleh segala sesuatu yang
diperlukan. Contoh paling sederhana dalam bidang pengobatan,
berdasarkan informasi melalui iklan-iklan televisi, buku-buku kesehatan,
koran dsb, seseorang dapat mengetahui dan menentukan sendiri obat yang
akan dipakai untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita tanpa harus
mengahabiskan waktu dan mengeluarkan biaya konsultasi ke dokter.
Di
tengah proses globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi disamping menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia juga
menjadi suatu hal yang mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai tradisi
yang diwarisi dan dipelihara dalam kehidupan sosial suatu masyarakat.
Nilai-nilai tradisi tidak lagi memegang monopoli atas kebenaran dalam
suatu lingkungan sosial, akan tetapi segala sesuatu dikaitkan dan
dinilai dari sudut pengetahuan dan beragamnya informasi yang terdapat
dalam kehidupan global[75]. Misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia praktek pergaulan bebas (free sex)
tanpa ikatan pernikahan yang sah telah marak terjadi diantara generasi
muda terutama dikota-kota besar. Meskipun berlawanan dengan norma adat
dan agama akan tetapi hal tersebut oleh sebagian warga tetap dilakukan.
Norma adat dan agama yang dulunya dipelihara dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat Indonesia, dewasa ini semakin terkikis akibat dengan
perkembangan jaman.
Sistim
politik suatu negara, merupakan aspek yang paling utama dipengaruhi
oleh proses globalisasi. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian
sebelumnya (Bab II). Proses keterhubungan antar negara dalam sistem
pasar bebas tidak hanya terjadi melalui pemanfaat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama bidang komunikasi dan transportasi
akan tetapi juga dengan penghapusan batas-batas teritorial suatu negara.
Bahkan pemerintahan suatu negara tidak memiliki kewenangan yang penuh
mengatur perusahaan-perusahaan transnasional yang beroperasi dalam
daerah kekuasaannya, sebab aturan dan kebijakan nasional telah
disesuaikan dengan aturan global yang ditetapkan dalam badan-badan
organisasi dunia demi kelancaran proses globalisasi seperti GATT dan
oraganisai-organisasi lainnya. Kebijakan-kebijkan yang terdapat dalam
badan organisasi dunia tersebut cenderung memperlemah
kebijakan politik nasional suatu negara dan lebih berpihak kepada
perusahaan-perusahaan transnasional. Berkat proses globalisasi dunia
menjadi satu akan tetapi berbagai aturan dan kebijakan yang ditetapkan
secara global kewibawaan negara nasional terutama negara-negara
berkembang semakin hilang, negara nasional terutama negara berkembang
mengalami krisis politik.
Globalisasi
juga berpengaruh bagi kehidupan keagamaan. Pemanfaatan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi satu sisi dapat mengakibatkan manusia tidak
mempersoalkan hal-hal yang abadi atau yang supranaturalis akan tetapi
mengarahkan manusia untuk mengutamakan
hal-hal yang praktis, konkrit dan langsung tepat guna bagi kemudahan
dan kenyamanan hidup, ilmu pengetahuan mengarahkan manusia untuk menjadi
manusia yang sekuler[76].
Dilain pihak globalisasi juga membawa serta konteks yang baru bagi
manusia dalam kehidupan keagamaannya. Contoh paling sederhana, semakin
maraknya Gereja-Gereja yang menamakan diri sebagai aliran kharismatik
yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (terutama
pemanfaatan peralatan musik modern) dalam menjalankan ibadahnya.
Kebaktian dengan iringan peralatan musik modern, kini semakin diminati
oleh sebagian warga jemaat kristen, sehingga tidak asing lagi apabila
Gereja yang tidak menggunakan peralatan musik modern ditinggalkan oleh
warga jemaatnya dan memilih untuk mengikuti kebaktian yang di Gereja
yang di iringi oleh peralatan musik modern tersebut.
Menyikapi berbagai fenomena sosial yang sedang terjadi ditengah proses globaliasi Einar M. Sitompul[77],
berpendapat bahwa pemikiran John Nisbit yang menguraikan “Delapan
kecenderungan di Asia yang dapat mengubah dunia secara total akibat
globalisasi”, dewasa ini sedang berlangsung dan berdampak terhadap
kehidupan keberagamaan. Kecenderungan di Asia yang paling dominan
berdampak dalam kehidupan keberagamaan khususnya bagi Gereja menurut
Einar adalah sebagai berikut :
- Kontrol pemerintah kepada tuntutan pasar. Untuk mendorong ledakan berbagai kesempatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah negara-negara Asia menjalin kerjasama dalam berbagai bidang dalam membangun dan mengarahkan Asia menjadi salah satu kawasa ekonomi pasar di tengah dunia. Berkaitan dengan pesatnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Asia, kemudian muncul masyarakat kelas menengah yang di tandai dengan kemampuan daya beli yang tinggi dan mentalitas baru. Ciri khas masyarakat kelas menengah tersebut pada umunya dalam kepemilikan barang tidak berdasarkan apa yang paling dibutuhkan akan tetapi berdasarkan apa yang diinginkan. Mentalitas baru yang dimiliki masyarakat kelas menengah juga terjadi dalam kehidupan beragama. Misalnya ditengah warga jemaat kristen ikatan primordial dan tradisional dalam berGereja semakin longgar. Mereka cenderung memilih Gereja yang sesuai dengan seleranya, mampu memberikan kesejukan, ketentraman dan mampu memberikan jaminan keselamatan. Sehingga banyak warga jemaat kelas menengah yang memilih mengikuti ibadah dan kegiatan-kegiatan diGereja yang menyebut dirinya kelompok injili yang cenderung memberikan jaminan keselamatan bagi pengikutnya.
- Dari desa menuju metropolitan. Bagi warga masyarakat desa, kota merupakan tempat untuk memperoleh kemakmuran. berkaitan dengan itu, migrasi dari daerah pedalaman (desa) ke kota terjadi sangat pesat dan dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya jumlah angka pengangguran bertambah dan jumlah orang miskin semakin meningkat di kota serta tindakan-tindakan kekerasan kerap terjadi. Oleh karena itu kota tidak lagi hanya sebagai tempat untuk meraih kemakmuran akan tetapi sebagai medan pelayanan yang memerlukan perhatian dan pelayanan yang khusus bagi Gereja.
- Meningkatnya peranan wanita. Pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong dengan cepat peningkatan peranan wanita Asia dalam segala bidang kehidupan baik ekonomi, politik dan agama. Paradigma lama tentang kedudukan wanita di Asia telah bergeser secara signifikan. Wanita bukan lagi mahluk lemah yang harus dilindungi atau bukan lagi sekedar pendamping bagi pria. Perubahan paradigma tersebut menjadi tantangan dalam pelayanan tentang bagaimana membuka pintu selebar-lebarnya bagi partisipsi wanita ditengah Gereja, serta bagaimana membantu atau memperlengkapi mereka agar dapat menjalankan perenannya secara tepat dan baik.
3.2 Penderitaan masyarakat ekonomi lemah di tengah era globalisasi
Globalisai ekonomi sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, adalah proses
penyatuan seluruh negara di pelosok dunia kedalam sistim perekonomian
global yaitu pasar tunggal yang diupayakan melalui sistim mekanisme
pasar bebas. Pardigma yang terdapat dalam sistim ekonomi pasar bebas
adalah kebebasan dan kemerdekaan penuh bagi setiap individu dalam
menggunakan modal sebesar-besarnya untuk menyelenggarakan usaha yang
dapat mendatangkan laba. Modal merupakan kunci utama dalam meraih
keberhasilan ditengah persaingan pasar (survival of the fittesst)
yang menerapkan prisnsip efektivitas dan efisiensi. Oleh karena itu
yang mampu bersaing dan meraih sukses di tengah pasar hanyalah mereka
yang memiliki modal, sementara yang tidak memiliki modal akan tersingkir
dan akhirnya akan menghambakan diri kepada para pemilik modal bila
ingin bertahan hidup[78].
Sistem
ekonomi pasar bebas pada prinsipnya akan merangsang pertumbuhan ekonomi
masyarakat secara global. Setiap orang akan bersemangat dalam memiliki
usaha ekonomi, karena tertarik untuk memperoleh keuntungan yang dapat
diperhitungkan sebelum memulai usahanya. Akan tetapi sitem ekonomi pasar
bebas tersebut bukanlah sistem yang netral dimana semua pihak akan
memperoleh keuntungan. Sistem tersebut lebih cenderung menciptakan
ketidak adilan ekonomi sebab para pengusaha memiliki ruang gerak
memonopoli pasar untuk mengutamakan keuntungan pribadi. Sehingga
masyarakat yang tidak mampu tidak akan memperoleh apa-apa bahkan
cenderung menjadi korban penghisapan para pengusaha.
Penderitaan
masyarakat kalangan ekonomi lemah, ditengah ketidak adilan globalisasi
ekonomi sebagai contoh adalah penderitaan kaum buruh. Pengeskploitasian
faktor-fakor produksi oleh para pemilik modal dan para pengusaha
perusahaan-perusahaan transnasional tidak hanya dilakukan terhadap
kekayaan alam akan tetapi juga terhadap buruh. Hak kaum buruh (upah,
tunjangan, hari libur, keselamatan kerja, fasilitas kesehatan dll) oleh
perusahaan transnasional sering tidak diperhitungkan[79].
Bahkan kebijakan pemerintah dalam mencari solusi atas upah buruh,
sebagaimana pemerintah Indonesia menetapkan sistem Upah Minimum Regional
(UMR) tidak jarang dijadikan sebagai patokan upah wajib oleh para
pengusaha. Dalam artian UMR yang semestinya dijadikan sebagai standar
penggajian yang paling rendah tetapi kenyataannya menjadi standar
penggajian yang paling tinggi terhadap buruh, tanpa memerperhitungkan
nilai produktifitas buruh dan kenaikan harga barang yang dihasilkan.
Sama
halnya dengan nasib buruh, para petani kecil dengan pola pertanian
tradisional juga berada dalam posisi krusial di tengah globalisasi
ekonomi. Sebab perusahaan-perusahaan transnasional juga melakukan
investasi bidang agribisnis yang diperlengkapi dengan
peralatan-peralatan modern dan tenaga ahli untuk meningkatkan komoditi
hasil pertaniannya. Berkaitan dengan itu, posis petani kecil semakin
tergusur sebagai penghasil pangan lokal karena komoditi hasil
pertaniannya tidak mampu bersaing di tengah pasar. Hal itu terutama
disebabkan karena pada umumnya petani kecil mengalami keterbatasan modal
untuk mengolah pertaniannya, sehingga tidak sanggup memanfaatkan
alat-alat pertanian modern juga berbagai jenis pupuk dan pertisida yang
mampu mendorong peningkatan kualitas hasil produksi pertanian. Dilain
pihak meskipun para petani kecil mampu menghasilkan produksi pertanian
yang memiliki komoditi, akan tetapi dalam hal pemasaran cenderung
menghadapi masalah. Hal tersebut terjadi karena para petani kecil tidak
memiliki akses untuk eksport, akses eksport hanya ada pada pengusaha dan
perusahaan agribisnis[80].
Oleh karena itu keberadaan petani kecil cenderung termarjinalisasi
ditengah arus liberalisme perdagangan bebas. Petani kecil menjadi korban
yang dipermiskin oleh sistem perdagangan bebas.
Sistem
ekonomi pasar bebas tampaknya adil dan terbuka akan tetapi bila
dicermati lebih jauh, sistem tersebut hanya adil terhadap yang kuat dan
terbuka untuk digeluti oleh setiap orang yang memiliki modal serta yang
menguasai teknologi. Sistem tersebut tidak solider terhadap setiap orang
yang tidak memiliki modal dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi.
Kwik kian gie[81]
berpendapat bahwa sistem ekonomi liberalis atau persaingan bebas hanya
dapat diterapkan di negara-negara maju yang taraf perekonomian warga
masyarakatnya telah mapan, apabila sistem tersebut diterapkan di negara
berkembang bahkan secara global yang akan terjadi adalah keterpurukan
ekonomi, jurang antara yang memiliki dan tidak memiliki akan semakin
lebar sebab yang kuat yang akan mendapat sementara yang lemah akan
semakin lemah dan kehilangan apa yang telah dimiliki. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa proses berlangsungnya globalisasi, terutama
globalisasi ekonomi yang diupayakan melalui sistem ekonomi pasar bebas
pada dasarnya hanya memberi keuntungan bagi para pemilik modal,
merekalah yang sanggup bersaing dan menikmati hasil ditengah perdagangan
bebas. Sementara masyarakat miskin yang mengalami keterbatasan modal
hanya menjadi korban, sebab tidak sanggup mengikuti persaingan pasar.
Bahkan mereka dipermiskin oleh sistem ekonomi pasar bebas tersebut.
3.3. karakteristik Gereja yang digilas Globalisasi
Misi Gereja dalam menghadapi era globalisasi
Gereja
adalah persekutuan orang percaya yang telah dipanggil keluar dari
kegelapan dan memasuki terang untuk menjadi berkat dengan jalan berkarya
memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Allah di tengah dunia.
Defenisi sederhana tersebut sangat jelas tertulis dalam1 Ptr. 2:9 :
“Tetapi
kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus
umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan
perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib”.
Dari
defenisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Gereja bukanlah sebatas
gedung atau bangunan yang di dalamnya umat kristen melaksanakan ibadah.
Akan tetapi Gereja adalah suatu komunitas milik Allah yang bergerak,
kreatif dan dinamis dalam merespon seluruh kenyataan yang terjadi
ditengah dunia. Sebagai komunitas milik Allah yang telah memperoleh
keselamatan dari-Nya, Gereja berfungsi sebagai saluran berkat, menjadi
garam dan terang bagi dunia untuk memproklamasikan dan mendemonstrasikan
kehidupan dalam kekudusan dan kebenaran[82]. Dalam artian Gereja harus mampu menjadi pandu dan teladan bagi dunia dalam pengembangan dan pemeliharaan kehidupan.
Misi Gereja dalam kehadirannya di tengah dunia adalah misio dei
yaitu, misi pemberian Allah sendiri untuk dilaksanakan oleh Gereja
dalam mendirikan tanda-tanda kerajaan-Nya. Misi Gereja tersebut biasanya
disebut dengan tri-tugas panggilan Gereja yaitu persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia)[83].
Sejak kehadirannya di dunia hingga pada akhir zaman, misio dei atau
tugas Gereja tersebut tidak berubah, akan tetapi pelaksanannya
dikerjakan oleh Gereja sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Dengan kata lain tugas panggilan tersebut harus selalu diwujudkan dalam
setiap situasi dan kondisi sosial yang sedang dihadapi oleh Gereja.
Dunia
nyata yang sedang dihadapi oleh Gereja dan seluruh umat manusia pada
masa sekarang adalah dunia pada abad ke-21, yang lazimnya disebut dengan
zaman era globalisasi. Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian-bagian
sebelumnya bahwa, era globalisasi di issukan sebagai zaman penuh harapan
akan kemakmuran bagi seluruh umat manusia dengan pertimbangan terhadap
pesatnya perkembangan kemajun ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
sejalan dengan itu kecemasan dan berbagai keprihatinan juga muncul dan
menjadi suatu ancaman terhadap kehidupan manusia baik individu maupun
secara global. Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kekutan
besar dengan gerak yang sangat cepat mempengaruhi seluruh sendi-sendi
kehidupan manusia. Berbagai informasi tersebar sangat cepat ke seluruh
penjuru dunia melalui alat-alat teknologi canggih tanpa dapat dibatasi
oleh siapapun. Informasi tersebut bukan hanya yang konstriktif akan
tetapi tidak jarang juga destruktif yang dapat menghancurkan nilai-nilai moral manusia.
Era
globalisasi dan segala situasi yang terjadi didalamnya adalah tantangan
nyata yang tidak dapat diabaikan tetapi harus dihadapi oleh Gereja.
Gereja baru benar-benar menjadi Gereja, jika tidak bisu dan membutakan
diri terhadap kenyataan yang terjadi ditengah dunia, tetapi bersuara
lantang, bersikap tegas dan menjadi pemandu umat ditengah-tengah
kegalaun jaman. Apabila Gereja tidak ingin kehilangan makna sebagai
Gereja ditengah dunia dan agar Gereja tetap relevan dan berkenan di hati
warganya, maka Gereja harus mengupayakan bentuk pelayanan yang baru dan
sesuai dengan keadaan masa kini[84].
Menjadi berkat, garam dan terang serta menjadi pandu dan teladan bagi
dunia hal itu jugalah yang menjadi fungsi kehadiran Gereja dalam
menjalankan tri-tugas panggilannya di tengah arus globalisasi. Gereja
menjadi Gereja yang misioner di dunia, bukan hanya membawa berita
keselamatan dari Allah sebagai bagian yang sentral dari misi Allah,
tetapi juga membangun persekutuan agar setiap orang percaya bertumbuh
menuju kedewasaan penuh sebagai anak-anak Allah sehingga tidak mudah
diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, permainan palsu
manusia dalam kelicikannya yang menyesatkan (Eps. 4:13-14)[85].
Menghadapi
arus globalisasi yang mengakibatkan berbagai permasalahan hidup, baik
etis dan moral akibat pengaruh budaya global, maka Gereja perlu
mengupayakan langkah-langkah pembinaan terhadap warga jemaat agar dapat
memiliki iman yang tangguh serta dapat menghadapi berbagai tantangan
zaman. Era globalisasi dan segala situasi yang ada didalamnya merupakan
panggilan baru bagi Gereja untuk sungguh-sungguh merumuskan kembali
secara baru pelaksanaan tugas dan panggilannya, untuk itu
langkah-langkah yang perlu di upayakan Gereja adalah[86]:
· Mendemonstrasikan
dan mewujud nyatakan keselamatan sebagai anugerah Allah di tengah dunia
yang masih penuh dengan kebengkokan dan cela (bnd. Filp.2:12,15).
Peleyanan Gereja harus bersifat aktif dan menyentuh masalah-masalah
dunia (sosial, ekonomi, politik, lingkungan atau ekologi dsb).
Masalah-masalah tersebut harus dijadikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari spiritualitas iman Kristen, serta Gereja harus memiliki
tanggungjawab proaktif dan antisipatif demi semakin nyamannya kehidupan
di dunia.
· Gereja
dalam pelayanannya harus dapat mencari bentuk pelayanan baru yang tidak
hanya dengan dasar kuantitas akan tetapi juga kualitas. Sangat perlu
diupayakan langkah-langkah untuk meningkatkan sumberdaya warga jemaat
yang berkualitas termasuk para pelayan Gereja, agar memiliki dan
menumbuh kembangkan budaya excellent,
yang mendorong setiap orang tetap kritis terhadap dirinya sendiri dan
kenyataan yang dihadapi serta terbuka kepada persaingan sehingga mampu survive di tengah era globalisasi.
· Seluruh warga jemaat harus dilibatkan secara langsung dalam pelayanan dan pembangunan jemaat sebagai bagian dari imamat am orang percaya
(bnd.1 Ptr.2:9), mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan
pengembangan pelayanan yang dibutuhkan, sehingga jemaat akan benar-benar
berakar dalam jemaat itu sendiri sebagai bagian dari tubuh Kristus (1
Kor. 2: 12).
· Seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks maka dari para pelayan
dituntut kejelian serta kepekaan untuk mampu melihat dan membaca
“tanda-tanda zaman”. Gereja tidak mungkin mengisolasikan diri agar tidak
terkontaminasi dengan virus-virus dunia, itu artinya hanya melepaskan
tanggungjawab dan meniadakan misi sebagai garam dan terang dunia, serta
suara kenabiannya.
· Titik
tolak pemikiran Gereja di dalam pelayanan harus berdasarkan pemahaman
yang holistik, dimana manusia dilayani dan dipelihara kesejahteraannya
secra utuh baik dalam aspek jasmani, moral dan spiritual. Oleh karena
itu pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya
dalam pelayanan fisik tetapi juga dalam aspek moral dan spiritual untuk
membangun ketahanan iman.[87]
Salah
satu masalah yang sangat memprihatinkan akibat proses globalisasi
adalah penderitaan yang dialami oleh orang-orang miskin atau masyarakan
yang perekonomiannya lemah. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, hal
itu terjadi akibat proses globalisasi dalam sektor ekonomi yang di
upayakan dengan sistem ekonomi mekanisme pasar bebas. Sistem ekonomi
pasar bebas tersebut bukanlah merupakan sistem yang adil dimana semua
pihak merasakan keuntungan. Akan tetapi hanya pihak yang kuat atau
pemilik modal yang menikmati sistem tersebut sementara rakyat kecil atau
orang-orang miskin yang tidak memiliki kekuatan dan modal hanya menjadi
korban pengeksploitasian oleh para pemilik modal. Orang miskin atau
masyarakat ekonomi lemah yang hidupnya menderita semakin menderita
akibat proses globalisasi.
Kecenderungan
untuk tidak memperdulikan dan bahkan menyingkirkan sejumlah orang,
kelompok sosial atau daerah bagaimanapun juga bertentangan dengan
pilihan mendahulukan orang miskin. Misi Gereja untuk mendirikan
tanda-tanda kerajaan Allah di dunia adalah turut serta diberlakukannya
kebenaran, keadilan, kasih, perdamaian dan keutuhan ciptaan di dalam
masyarakat[88].
Meskipun Gereja tidak terjun langsung dalam politik praktis sebagai
lembaga keagamaan dan melalui warganya akan tetapi Gereja di ilhami oleh
trifungsi Kristus yaitu sebagai nabi, imam dan raja. Dalam hal ini
Gereja harus berdiri dengan solidaritas terhadap orang-orang miskin yang
mengalami dehumanisasi ditengah ketidakadilan globalisasi ekonomi.
Gereja terpanggil memberi kesaksian akan Kristus dengan mengambil sikap
yang berani dan tindakan kenabian dalam menghadapi kekuasaan politik dan
ekonomi. Dengan pelayanan kasih kepada orang-orang yang memerlukan
yaitu mereka yang miskin, menderita dan tersingkirkan ditengah era
globalisasi, maka Gereja telah melaksanakan keadilan dan pemberitahuan
bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19).
Bab 4
Diakonia Transformatif Gereja Ditengah Globalisasi
Seperti
dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, Gereja di tengah globalisasi diuji
kemampuannya untuk menjadi berkat, garam dan terang dunia, terutama
dalam meningkatkan kesejahteraan warga jemaat/masyarakat ekonomi lemah.
Proses globalisasi yang di issukan sebagai upaya untuk menciptakan
kemakmuran, pada kenyataannya menimbulkan banyak masalah. Tatanan
perekonomian dunia yang di upayakan melalui globaliasi ekonomi dengan
pemberlakuan pasar bebas, ternyata bukanlah suatu sistem perekonomian
yang adil dan menguntungkan semua pihak.[89]
Namun, perlu ditegaskan, bahwa secara teologis dapat dikatakan era
globalisasai adalah bagian dari penciptaan dan pemeliharaan Allah.
Perjalanan sejarah tetap di tangan Allah. Oleh karena itu globalisasi
bukanlah semacam hukum kodrat yang tidak dapat dihadapi, melainkan harus
diuji dan dikaji secara positif kritis. Sikap merasa tidak berdaya dan
menyerah terhadap keadaan tersebut haruslah dihindari. Sikap menentang
secara radikal arus globalisasi tersebut juga harus dihindari.[90]
Belajar
dari kenyataan, diakonia karikatif dan diakonia reformatif Gereja dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan warga jemaat/masyarakat ekonomi lemah
dinilai tidak cukup memberikan penyelesaian masalah, sebab hanya
membantu orang lemah sebagai orang yang tidak memiliki kedudukan. Upaya
tersebut hanyalah obat sementara dalam waktu yang singkat. Oleh karena
itu kehadiran Gereja harus betul-betul menjadi pelaksana dan pusat
transformasi sosial, melalui diakonia transformatif.
Secara
ringkas dapat disebutkan bahwa diakonia transformatif bisa dilakukan
apabila dibarengi dengan pembinaan transformatif. Jika Gereja mau
menjadi agen perubah, maka perlu ada pembinan sosial, ekonomi, politik.
Hal lni dapat dibarengi dengan memobilisasi angota jemaat yang memiliki
keahlian di bidang tersebut.[91]
4.1. Diakonia Transformatif Gereja
Dalam
rangka diakonia trasformatif, Gereja tidak mungkin membendung secara
keseluruhan arus globalisasi. Tentunya terdapat unsur-unsur globalisasi
tersebut yang dapat dimanfaatkan Gereja dalam pelayanannya. Dengan
demikian, ada beberapa sikap Gereja terhadap perubahan dalam globalisasi
yaitu positif, kritis, krearif dan sikap realistis [92]
- Positif
Sikap
positif adalah segala sesuatu yang menunjuk kepada apa yang menjadi
kehendak Tuhan. Tentunya banyak hal yang dihasilkan oleh globalisasi
yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung terlaksananya pelayanan diakonal
yang sesuai dengan kehendak Allah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan warga jemaat, khususnya ekonomi lemah. Sehubungan dengan
hal tersebut, Gereja perlu melakukan analisa dan seleksi terhadap produk
yang dapat membangun tersebut, karena disamping hal yang positif,
produk globalisasi pasti mengandung hal yang dapat merugikan jemaat.
- Kritis
Kritis
artinya mengoreksi segala sesuatu apa yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Tentunya gereja dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun harus disadari juga bahwa gereja juga dapat menghalanginya.
Dikatakan menghalangi maksudnya adalah apabila Gereja hanya mengajarkan
bahwa keterlibatan warga jemaat dalam masalah dunia akan membahayakan
iman jemaat. Dalam kaitan ini, Gereja hanya menekankan hal-hal yang
sorgawi sehingga tidak berguna bagi dunia, terutama dalam menyelesaikan
permasalahan dalam masyarakat yang dibawa globalisasi. Apabila hal
tersebut terjadi, maka warga jemaat akan sibuk dengan urusan-urusan
serta acara-acara yang dilaksanakan di lingkungan gereja, sehingga
mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan pelayanan dalam
masyarakat. Kegiatan-kegiatan di lingkungan gereja memang penting, namun
gereja hendaknya tidak menyibukkan warga jemaatnya dalam kegiatan itu
saja, supaya pelayanan mereka dapat optimal kepada masyarakat. Hal
tersebut juga dapat berdampak terhadap kehidupan Gereja yang semakin
eksklusif terhadap dunia sekitarnya dan hak tersebut bukanlah kehendak
Tuhan.[93]
- Kreatif
Kreatif
artinya mengusahakan hal-hal yang baik yang telah ada dan mengusahakan
timbulnya hal-hal yang baru. Menurut Widi Artanto,[94] bentuk diakonia gereja-gereja di Indonesia perlu dikembangkan menjadi diakonia sosial transformatif tanpa mengabaikan bentuk-bentuk
doakonia reformatif dan karikatif, yaitu pelayanan yang lebih bersifat
mendampingi dan mendorong mereka untuk memperjuangkan sendiri hak-hak
mereka guna mengatasi kemiskinan mereka. Mereka tidak hanya membutuhkan
bantuan material, namun mereka membutuhkan kekuatan mereka sendiri.
Berkaitan dengan sikap yang kreatif tersebut, Malcolm Brownlee memberikan penjelasan lebih rinci lagi.[95]
Dengan jelas dapat dibedakan bahwa memberikan sedekah kepada orang
miskin dengan memberi pekerjaan kepada mereka, memberi sumbangan kepada
orang gelandangan dengan berjuang bagi sistem sosial ekonomis hingga
mereka mempunyai lahan untuk digarap, mengunjungi dan menghibur kaum
tawanan dengan memperjuangkan keadilan hukum bagi mereka dan sebagainya.
Dengan demikian mereka akan mampu memperjuangkan hidup mereka sendiri.
- Realistis
Realistis
artinya kita melihat dan memahami hal-hal yang dapat dicapai dengan
usaha manusia, sebab juga prestasi-prestasi yang paling luhur dalam
sejarah manusia akan tetap hanya merupakan tanda atau antisipasi saja
mengenai apa yang dalam kepenuhannya akan digenapkan oleh Allah sendiri.
Sikap realistis tetap diresapi pengharapan yang tidk dapat dilenyapkan
oleh berbagai macam kekecewaan, oleh karena kita percaya bahwa Tuhan
bekerja dalam sejarah dan akan menggenapi janji-Nya.
Berkaitan
dengan sikap realistis, gereja diupayakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut
biasanya memiliki tiga dimensi. Pertama, kebutuhan konsumsi pribadi
yaitu makanan, pakaian dan pemukiman. Keuda, pelayanan sosial yang
dibutuhkan masyarakat, yaitu kebersihan, pendidikan, kesehatan dan
angkutan umum. Ketiga, kebutuhan akan peran dalam pengambilan keputusan
yang mempengaruhi kehidupannya sendiri yang dilihat dalam konteks hak
azasi manusia, seperti mendapat perlakuan yang adil dalam hukum.[96]
Namun perlu digarisbawahi bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut bukan
bertujuan untuk kesamarataan. Dengan demikian, gereja diharapkan
realistis dalam melihat kebutuhan pokok tersebut dan melakukan upaya
dalam rangka pemenuhan kebutuhan riil tersebut.
Disamping
keempat sikap di atas, penulis mengusulkan sikap yang proaktif dari
gereja. Hal tersebut diperlukan untuk menyikapi perubahan-perubahan
berikutnya yang diakibatkan oleh arus globalisasi itu sendiri.
Untuk
mewujudkan sikap di atas, maka Gereja diharapkan melakukan
tindakan-tindakan konkrit. Penulis akan mengkajinya berdasarkan bidang
kehidupan warga jemaat/masyarakat itu sendiri, yaitu bidang politik,
ekonomi, sosial dan bidang budaya.
a. Bidang politik
Gereja diharapkan mengupayakan pemberdayaan jemaat yang sadar politik.[97]
b. Bidang ekonomi
c. Bidang sosial
d. Bidang budaya
4.2. Wadah Tindakan aktif Gereja
- Advokasi Gereja (menjelaskan: arti advokasi, dasar teologis, langkah-langkah advokasi, keadaan Gereja yang mampu melakukannya) menjawab kemiskinan struktural.
- CU (menjelaskan: arti CU, dasar teologis, langkah-langkah CU, keadaan Gereja yang mampu melakukannya)
- Selaras alam (menjelaskan: arti Selaras alam, dasar teologis, langkah-langkah Selaras alam, keadaan Gereja yang mampu melakukannya)
[1] Theodorus Kobong, Gereja Memasuki Abad-21, dalam Bambang Subandrijo, Agama Dalam Praksis. (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003), 23
[2] Victor Tinambunan, Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah. (P.Siantar: L-SAPA STT-HKBP), 32
[4] Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Sosialisme Bukan Kapitalisme: Memahami Keterlibatan sosial Gereja. (Yogyakarta: Kanisius 2003), 96
[8] Gerhard Kittel,(ed)., Theological Dictionary of The New Testament, (Michigan: Grand Rapids, 1874). 81-85
[9] Colin Brown,(ed),. Dictionary of New Testament Thelogy, Vol 3, (Michigan: Grand Rapids, 1978), 544-549
[10] Ibid
[15] James Hastings (ed)., Encyclopedia of Religion and Ethics, (New York: Charles Scribnes’s Sons, 1955, 780.
[17] Moshe Weinfield, Social Justice In Ancient Israel and In The Near East, (Jerusalem & Menneapolis: The Hebrew Univercity Magne Press & Frtress Press, 1995), 33-35
[20] Alf.B. Oftestad, Membangun Gereja Yang Diakonal,(ed),Serapina Sitanggang, (P.Siantar: Perc. HKBP,2004), 10
[21] Renhard Boettcher, The Diaconal Ministry in The Mission of The Curch, (Swizerland: LWF,2006),11
[29] Novemri Choeldahono, Gereja Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif, dalam Bambang Subandijo (ed)., Agama dalam Praksis, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003), 34 &39
[30] Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 218-213
[41] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (P.Siantar : L-SAPA, 2007), 103-
[42] Sulaiman Mangguling, Identitas, pluralisme, dan kemiskinan : Sebuah pergumulan Kristiani dalam Soegeng hardianto, Agama Dalam Dialog: Pencerahan Pendamaian dan Masa Depan, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003), 359
[45] Mansur Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelejar, 2001), 211
[51] http://www.geocites.Com, Ibid
[54]Novembri Cheoldahono, Gereja, Globalisasi dan Gerakan Bersama Rakyat Menuju Ketahanan Pangan, dalam Sugeng Hardianto, Op. Cit, 67
[56] Darwin Lumbantobing, Ibid
[57] Einar Sitompul, Op. Cit, 60-63
[59] ibid
[60] Hotman M Siahaan, Hutang Luar Negri, Perdagangan Bebas dan Posisi Rakyat, dalam Gomar Gultom (ed)., Pemberdayaan Rakyat Versus Hegemoni Negara, (Parapat: KSPPM, 2003), 112
[64] Bamel, The Poor in The Old Testament, dalam G. Kittel (ed)., Theological Of The Old Testament, Vol.VI, (Michigan:Garand Rapids, 1966),888
[67] Gerhard Friedich, Ptokhos, dalam G.Kittel (ed), Theological Dictionary of The New Testament, (Michigan: Grand Rapids, 1968),886
[71] Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius 2002), 51-53
[72] Ricardo Antoncich, Iman & Keadilan, Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman, (Yokyakarta: Kanisius, 1994), 25
[73] I.Wibowo, Globalisasi dan Gereja Indonesia dalam, J.B. Banawiratman (ed)., Buku Kumpulan Sari Pustaka Teologi, Gereja Indonesia Quo Vadis? Hidup MengGereja Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 30-31
[74] Ibid
[75] Ibid
[76] A. Sudiarja, Agama di Zaman Yang Berubah, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 144
[77] Einar. M. Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, (Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2224), 69
[78] AL. Purwa Hadiwardoyo, Keadilan Sosial dan Sistem Ekonomi, dalam B.J. Banawiratman (ed)., Aspek Aspek Teologi Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 44
[79] Her Suharyanto, Kaum Buruh Buah Hati Gereja,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), 49. oleh Her Suharyanto berdasarkan
penelitian yang dilakukan menyampaikan bahwa, Penetapan UMR oleh
pemerintah Indonesia sebagai upah minimum pada tahun 2005 yang lalu
adalah sebesar Rp.591,226,00,-
[80] Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta:LP3ES, 1996), 34
[81] Kwik kian gie, Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998), 259-260
[82] Weinata Sairin, (penyunting)., Visi Gereja Dalam Memasuki Milenium Baru, (Jakarta : BPK- Gunung Mulia, 2002), ix
[83] Sularso Sopater, Tantangan Gereja Memasuki Abad XXI, dalam Weinata Sairin, Ibid, 12
[84] Robinson Radjagukguk, Spiritualitas Keristen dan Peranan Soaial Gereja Masa Kini, dalam Gomar Gultom (ed), Menggapai Gereja Inklusif, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), 199
[85] Ibid
[86] Ibid, 200-201
[87] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (P. Siantar: L-SAPA STT HKBP, 2007), 116
[88] Soelarso Sopater, Op. cit, 13
[89] Tugas dan panggilan manusia dalam dunia........hal. 125
[91] Rijnardus A. van Kooij dkk, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, Jakarta: BPK-GM 2007, hlm.91
[97] Sadar politik maksudnya adalah watga jemaat mengetahui dan mengenal dengan baik apa hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar