Senin, 18 November 2013

MOMENTO MORI

MEMENTO MORI: Kajian singkat tentang MINGGU ”PARNINGOTAN DI ANGKA NAUNG MONDING”

1. Pada hari Minggu ini, 22 November 2009, sesuai dengan kalender Gerejawi HKBP, akan menyelenggarakan Ibadah Akhir Tahun (“Ujung Taon Parhuriaon”) sekaligus “Parningotan di angka naung monding”. Ibadah Akhir Tahun berarti bahwa HKBP akan memasuki masa-masa Advent. Kata “Advent” berasal dari bahasa Latin, yaitu: “Adventus” yang berarti kedatangan Allah. Istilah ini dahulu dipakai dalam kekaisaran Romawi untuk menyambut kedatangan kaisar yang dianggap sebagai dewa, kemudian dipakai oleh pengikut-pengikut Kristus untuk menyatakan bahwa bagi mereka bukan kaisar, melainkan Kristus adalah Raja dan Tuhan. Masa Advent adalah masa persiapan sebelum Natal, yakni masa persiapan untuk menghayati makna kedatangan Kristus, sesuai dengan penantian Mesias oleh umat Israel yang terungkap dalam Alkitab Perjanjian Lama, juga sehubungan dengan kedatanganNya pada akhir Zaman. Namun, bukan Minggu Advent yang hendak dijelaskan dalam tulisan ini, tetapi Minggu “Parningotan di angka naung monding”.
Di Gereja HKBP, Minggu “Parningotan di angka naung monding” dilaksanakan pada Minggu ketiga bulan November atau minggu terakhir sebelum Minggu Advent I (tahun ini pada tanggal 22 November 2009). Di Gereja Roma Katolik, hal ini dilaksanakan pada tanggal 2 November (lih. Pdt. DR. A.A. Sitompul, Bimbingan Tata Kebaktian Gereja: Suatu studi perbandingan, BPK-GM, Jakarta, 1993, hl. 87).
Di kalangan Gereja Evangelis pesta ini dimulai sejak pemerintahan raja Friderich Wilhelm III tahun 1816 yang mengadakan pesta peringatan bagi orang-orang yang meninggal dunia dalam masa perang kemerdekaan. Pada masa sekarang ini minggu tersebut diadakan pada minggu akhir gerejawi (bulan November) dan di Eropa minggu ini disebut dengan minggu abadi, di mana minggu itu tidak hanya berhubungan dengan saat-saat terakhir sebelum kematian tetapi juga menunjuk kepada hari-hari penggenapan janji Allah pada akhir dunia ini, sehingga di dalamnya terdapat berita penghiburan dan berita kesukaan.
2. Apa yang mendasari Gereja Roma Katolik melaksanakan Peringatan bagi orang-orang yang meninggal dan apakah perbedaannya dengan HKBP? Menurut Y. Dwi Harsanto, Pr., (lih. http://via-veritas.com/memento-mori/) dasar berpijak Gereja Roma Katolik adalah sebagai berikut:
a. Maut tidak memutus relasi
Y. Dwi Harsanto, Pr menitikberatkan pada surat rasul Paulus dalam 1 Tesalonika 4:13-18 yang mengenai orang-orang yang sudah meninggal sebagai tanda harapan akan keselamatan dalam Kristus dan karenanya orang Kristen diminta saling menghibur. Kematian tidak memutuskan relasi antar-kita dalam iman akan Yesus Kristus yang bangkit dari alam maut dan mempersatukan orang percaya. Relasi setelah kematian berupa doa, kenangan dan inspirasi, bukan lagi relasi fisik dan verbal.
Hal itu dihubungkan dengan Pengakuan Iman Rasuli bagian III: “Aku percaya akan Communio Sanctorum yang diterjemahkan sebagai “persekutuan para kudus”. Selanjutnya menurut Y. Dwi Harsanto Pr., sebenarnya, Communio Sanctorum punya dua arti: Pertama, Orang-orang Kudus, yakni orang-orang yg sudah dibaptis, baik yang masih hidup maupun yg sudah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang sudah “dikuduskan” atau dikhususkan untuk Allah. Arti kedua adalah hal-hal kudus (sakramen-sakramen Gereja). Maka setelah baptisan dan perayaan sakramen khususnya ekaristi, kita dipersatukan satu sama lain berkat iman dalam Gereja sampai kekal.
b. Ekaristi: Tanda Cinta Abadi
Menurut Gereja Roma Katolik, mereka yang masih hidup dapat membantu jiwa-jiwa yang menderita kerinduan di api penyucian dengan doa, amal, perbuatan-perbuatan baik, dan khususnya dengan Perayaan Ekaristi. Tindakan-tindakan mereka itu dapat membantu mengurangi “masa tinggal” mereka di api penyucian. Mereka percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka / rusak relasi akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.
c. Tanda Harapan Sepanjang Sejarah
Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban misa/Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan” (no. 1032). Sebenarnya “zaman dahulu” ini berakar bahkan dalam Perjanjian Lama, sebagaimana dihubungkan dengan Kitab Makabe yang Kedua. Di dalamnya dituliskan bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45).
3. Dalam Konfesi HKBP tahun 1996 pasal 15 tentang PERINGATAN AKAN ORANG YANG MENINGGAL mengatakan sebagai berikut:
Kita mempercayai dan menyaksikan:
Kematian adalah akhir dari hidup manusia di dunia ini, dia berhenti dari segala pekerjaannya. Ada keselamatan bagi orang yang percaya. Yesus Kristus yang telah bangkit itulah yang membangkitkan orang dari kematian, Dialah Tuhan dari orang yang hidup dan yang mati (Rm. 14:7-9).
Berbahagialah orang yang mati di dalam Tuhan yang setia sampai akhir (Why.14:13).
Gereja menyelenggarakan peringatan bagi orang yang meninggal untuk menyadarkan iman kita supaya kita mengingat akan akhir hidup kita sendiri serta meneguhkan pengharapan akan kemenangan Kristus mengalahkan kematian, demikian juga pengharapan akan kerajaan sorga sebagai tujuan jiwa-roh kita dan persekutuan orang percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
Dengan ajaran ini:
Kita menekankan pengharapan keselamatan manusia dari antara orang yang mati di dalam Yesus Kristus. Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang hidup dapat menerima berkat dari orang mati.
Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang mati dapat berhubungan dengan orang yang hidup dengan mendoakan arwah-arwah. Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa haruslah mendirikan tugu untuk menghormati orang yang mati sebagai cara menerima berkat bagi keturunannya.
Dan dengan ajaran ini:
Kita menolak semua bentuk ajaran agama kekafiran terutama ajaran tentang roh yang mengatakan: roh orang yang meninggal itu hidup, dan roh orang meninggal itu menjadi hantu dan roh leluhur (sumangot).
Pada waktu peringatan orang yang meninggal, baiklah kita mengingat untuk mengucap syukur kepada Allah, akan segala perbuatannya yang baik pada waktu masih hidup, tetapi tidak untuk memohon berkat dan tanda kesurupan dari yang telah meninggal itu.
4. Jelas sekali bahwa Gereja Roma Katolik berbeda dengan Gereja HKBP dalam memahami Minggu “Parningotan di angka naung Monding”. Gereja Roma Katolik memahami bahwa ada relasi antara orang yang meninggal dengan orang hidup dengan dasar berpijak kepada 1 Tes.4:13-18 dan Pengakuan Iman Rasuli bagian III, ekaristi dan tanda harapan sepanjang sejarah. Sementara HKBP menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang mati dapat berhubungan dengan orang yang hidup dengan mendoakan arwah-arwah (itu berarti tidak ada relasi/hubungan sama sekali). Gereja HKBP menyelenggarakan peringatan bagi orang yang meninggal untuk menyadarkan iman kita supaya kita mengingat akan akhir hidup kita sendiri serta meneguhkan pengharapan akan kemenangan Kristus mengalahkan kematian, demikian juga pengharapan akan kerajaan sorga sebagai tujuan jiwa-roh kita dan persekutuan orang percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali.
5. Memento Mori. Kalimat itu kurang lebih berarti berarti ”Ingatlah akan kematian”. Pepatah bijak itu mengingatkan kita akan hakikat kehidupan. Memang, kematian adalah sebuah kepastian bagi setiap manusia. Datangnya maut adalah sebuah janji di akhir kehidupan. Manusia yang berakal budi dan bereligiositas mempunyai kesadaran yang mendalam tentang kepastian akan kematian dan maut. Maka, kata filsuf Heidegger, hidup adalah suatu ziarah menuju liang lahat. Maut adalah the void within. Artinya, maut adalah suatu kekosongan yang menganga di pusat kehidupan semua manusia yang setiap saat dapat menenggelamkan manusia ke dalam jurang ketiadaan.
Kematian yang sifatnya pasti bagi setiap manusia, dikatakan filsuf Karl Jaspers, tidak lain sebagai “situasi-situasi batas” (Grenz-situationen), yaitu momen ketika orang tahu harus berbuat sesuatu, tapi nyatanya ia tidak mampu lagi melakukan apa pun. Suatu pengalaman manusia tentang ketidakmampuan asasi yang sifatnya eksistensial. Epicuros menulis soal ketidakberdayaan manusia itu, selama kita masih hidup, kematian itu belum ada, tapi tatkala kematian itu tiba, kita tidak ada lagi.
Kematian sebagai realitas universal yang sifatnya pasti itu hingga kini pun terus menjadi misteri yang menggugah nalar dan perhatian hampir setiap orang. Dalam khazanah filsafat, teologi, sastra, dan psikologi, topik tentang kematian terus ditelaah serta diperdebatkan. Para filsuf, teolog, sastrawan, dan psikolog tidak henti-hentinya menjadikan kematian menu utama refleksinya.
Pemikir eksistensi manusia, Albert Camus, menegaskan, selain mengapa manusia bertahan hidup, kematian merupakan persoalan filosofis dan teologis terpenting sekaligus terpelik.
Beberapa sastrawan juga memandang kematian sebagai kekalahan yang tidak dapat dihindari sebagai ujung yang mengerikan sekaligus mengagungkan dari perjuangan mengarungi hidup. Chairil Anwar memberi kesan bahwa hidup hanya menunda kekalahan. “Memento mori”, mengingatkan kita kepada kematian dan kefanaan hidup.
Karena kematian itu ibarat misteri yang menggetarkan eksistensi manusia, dan menganga di pusat kehidupan manusia, kematian layak merembet ke seluruh rana refleksi filsafat, teologi, sastra, psikologi, dan sosial. Kematian kerap menjadi pembuka cakrawala kehidupan manusia, masa lampau, masa kini, dan masa depan. Bahkan ia dapat membuka jalan bagi pembaruan filsafat, teologi, sastra, psikologi, dan sosial itu sendiri.
Dari perspektif teologi, ia telah membuka jalan bagi telaah teologi yang bersentuhan dengan soal-soal eskhata atau hal-hal terakhir dalam hidup manusia yang bisa menjadi awal kebahagiaan kekal atau kematian kekal. Sebab, dalam teologi, pembicaraan seputar kematian tidak terlepas dari surga dan neraka, di samping perbincangan perihal eskatologi (eskaton) masa depan kehidupan manusia.
Yang menjadi bahan diskusi di kalangan para teolog, seperti aliran teologi proses (process theology) yang dimotori John Cobb, David R. Griffin, dan Norman Pittenger, adalah bukan hanya menyangkut pemaknaan hidup sehari-hari, melainkan lebih berfokus pada soal bagaimana dalam sejarah kehidupan ini terjadi apa yang kerap disebut realisasi “rencana-rencana” Allah yang menciptakan dan memelihara lalu menyelamatkan manusia. Atau, secara lebih jelas dalam teologi, pertama-tama bukan lagi mau bicara tentang apa itu kematian atau hidup sesudah mati (after life), melainkan tentang bagaimana janji-janji Sang Khalik itu akhirnya mengena pada kepenuhan hidup manusia.
Dalam konteks inilah pandangan teolog asal Jerman, Karl Rahner, menemukan kebenaran bahwa eskatologi sesungguhnya adalah sebuah antropologi teologik, dengan pandangan tentang kematian juga mencerminkan jiwa, pandangan hidup, serta struktur sosial budaya. Artinya, proses mengerti perihal kematian sebagai suatu nilai hidup yang eksistensial juga harus merupakan suatu faktor yang inheren pada manusia. Kita lalu melihat, kematian dalam ungkapan pengalaman manusia, baik dari pergumulan filsafat maupun teologi, bukan hanya menjadi suatu “sosok” yang menakutkan, melainkan juga sebagai “peristiwa” iman yang mengagungkan. Dalam lirik musik, film-film, dan ritual-ritual penguburan, tampak bahwa orang begitu gembira. Banyak suku menghayati kematian sebagai peristiwa yang menggembirakan, sehingga tatkala kematian menyergap orang-orang tercinta, langsung disambut dengan ritual-ritual kegembiraan yang diiringi musik dan nyanyian.
Teolog L. Boros pernah menulis bahwa kematian adalah pengalaman sangat istimewa ketika manusia secara definitif dan jelas menentukan sikapnya kepada Allah. Itu karena kematian membawa setiap manusia pada refleksi tentang hidup. Dan sebagai manusia yang memiliki religiositas, tentu lahir suatu fakta yang mengeksplisitkan sebuah imperatif mengenai mutlak perlunya refleksi iman atas peristiwa kematian itu sendiri. Maka di dalamnya tak jarang pula muncul kepasrahan. Atau, menurut Karl Jaspers, surrender is readiness to live, no matter, how to accept life whatever happens.
Kematian, sebagaimana juga hidup, adalah pasti. Ia juga begitu akrab sebagai bagian dari proses alam yang wajar. Maka kini bergantung pada manusia dalam memahami dan menghadapi kematian; entah menakutkan, menggetarkan, mengagungkan, entah menggembirakan. Semuanya akan berjalan sekarang dan di depan manusia. Seperti kata Heidegger di atas, maut itu adalah suatu kekosongan yang menganga di pusat kehidupan kita. Kekosongan itu semakin lama semakin lebar, hingga akhirnya akan menelan kita ke dalam jurang ketiadaan.
Lebih dari itu, adanya kematian setidaknya memberi inspirasi bagi semua orang untuk mau tidak mau harus berbuat baik, bekerja keras untuk mengabdi, agar kematian itu menjadi akrab dan diterima dengan senyum, ceria, serta disyukuri. Minimal, setiap manusia dapat menghadapi kematiannya sendiri dengan sigap dan berani. Memento mori, “ingot ma ari hamamatem”.

Manusia takut pada kematian sebagaimana anak-anak takut pergi ke kegelapan; dan sebagaimana ketakutan alami bertambah karena cerita-cerita, demikian juga hal-hal lainnya.
Francis Bacon (1561-1626) Filsuf Inggris
Setiap manusia sejatinya merasa akan hidup abadi; mungkin dia tahu bahwa dia menuju kematian, tapi dia takkan pernah tahu bahwa dia telah mati.
Samuel Butler (1835-1902) Penyair Inggris
Ketika mati, kamu mati. Begitu saja.
Marlene Dietrich (1901-1992) Aktris Hollywood
Anak-anak yang sehat tak akan takut hidup, jika orang tua mereka memiliki cukup integritas untuk tak takut mati.
Erik H. Erikson (1902-1994) Psikolog Amerika
Manusia yang tak mau menyabung nyawa untuk sesuatu tak layak hidup.
Martin Luther King, Jr. (1929-1968) Peraih Nobel Perdamaian
Kematian tak lebih dari perpindahan dari satu kamar ke kamar lain. Tapi ada perbedaan bagiku, kamu tahu kan, karena di kamar lain itu aku akan mampu melihat.
Helen Keller (1880-1968) Penulis Amerika Serikat yang buta.
Namun, ingatlah perkataan Rasul Paulus,
Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan
(Filipi 1:21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar