KEMBALI KE MAKNA AWAL NATAL
REFLEKSI SENIN KE-51
20 Desember 2010
Domba-domba lebih memahami peristiwa Natal pertama ketimbang para imam di Yerusalem. Hal yang sama juga terjadi sekarang.
(Thomas Merton)
Oleh : Pdt Victor Tinambunan MST
DI MANA KITA BERADA?
Perayaan natal di Indonesia barangkali memiliki kekhususan dibandingkan
dengan yang terjadi di seantero dunia ini. Misalnya, natal sudah
dirayakan sejak awal bulan Desember yang sebenarnya masih masa
minggu-minggu Advent. Bagi orang Kristen Batak, mungkin banyak di antara
mereka yang mengikuti ibadah natal lebih dari sepuluh kali mulai natal
kumpulan marga, kantor atau lingkungan kerja, lingkungan domisili, dan
di gereja mulai natal anak-anak sekolah Minggu sampai perayaan natal
tanggal 26 Desember. Karena banyaknya, bahkan ada yang merayakannya pagi
atau siang hari. Di sini nyanyian ‘malam kudus’ atau dalam bahasa Batak
Sonang ni bornginna i juga dinyanyikan sambil mematikan lampu dan
menyalakan lilin tetapi tetap terang benderang karena di siang bolong.
Di samping itu, tidak rahasia lagi bahwa bagi sebagian orang perayaan natal tidak bisa dipisahkan dengan menu istimewa. Itu sebabnya ada yang meplesetkannya dalam bahasa Batak, yang inti dalam natal adalah sukacita karena tubu Tuhanta (kelahiran Tuhan) menjadi tu butuhanta (urusan perut). Bagi sebagian orang, Natal tidak lengkap tanpa binda (potong-memotong ternak secara bersama).
Kenyataan-kenyataan demikian dapat mengakibatkan perayaan natal hanya menyisakan sedikitnya empat hal yang tidak perlu, yakni:
(1) Sampah, baik sisa dan bungkus makanan maupun bahan dekorasi. Sisa-sisa ini menambah pekerjaan petugas kebersihan kota dan (terutama) menambah kehancuran alam semesta.
(2) Penyakit. Sebab, sejak masa latihan dan perayaan yang begitu banyak diikuti bisa membuat tubuh menjadi lelah, masuk angin (apalagi karena Desember umumnya musim hujan), dan kelebihan kolestrol. Belum lagi, bagi sebagian ibu-ibu yang karena lama menunggu di salon terpaksa malam harinya tidur telungkup supaya riasan rambutnya tidak rusak dan bisa dipakai untuk perayaan natal yang lain besok harinya. Maklumlah, di samping agak mahal biayanya juga terlalu lama menunggu di salon. Kalau tiga malam telungkup, apa tidak menyebabkan penyakit? Ada pula kaum perempuan yang mengubah rambutnya. Yang keriting diluruskan alias direbonding (untuk itu butuh lima jam). Yang rambutnya lurus dikeritingkan. Yang ubanan dicat atau disemir hitam. Yang hitam diubah menjadi warna abu-abu atau merah jambu bahkan ada juga yang berbelang-belang. Agak repot memang.
(3) Hutang. Baik hutang Panitia yang mungkin tidak berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan, maupun hutang keluarga-keluarga karena pengeluarannya yang membengkak. Saya mengamati bahwa Dinas Pegadaian di beberapa tempat lebih ramai dikunjungi orang pada bulan Desember. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk biaya yang berkaitan dengan perayaan natal. Sebenarnya tidak ada hubungan perayaan natal dengan kursi atau gordin jendela baru. Tetapi bagi sebagian orang, saat natal merupakan waktu untuk membeli semua itu. Tidak salah memang, asal jangan sampai orang Kristen kehilangan sukacita dan damai pada saat perayaan ini, hanya karena faktor-faktor lahiriah.
(4) Perselisihan. Mengapa? Orang yang lelah biasanya gampang tersinggung dan marah. Perselisihan bisa terjadi di dalam tubuh kepanitiaan Natal, di tengah keluarga dan lain-lain. Amat menyedihkan jika hal-hal inilah yang tersisa, sehingga inti natal sebagai’ sukacita dan damai sejahtera’ menjadi sirna.
Agar perayaan natal yang kita lakukan sungguh-sungguh menjadi kemuliaan Tuhan dan sukacita serta damai sejahtera bagi kita, kita perlu berpaling sejenak pada sejarah natal, bagaimana perayaan gerejawi seharusnya dilakukan, dan bagaimana merayakan natal yang bermakna.
SEJARAH PERAYAAN NATAL
Di sini perlu dilihat tradisi Timur dan tradisi Barat yang dalam kedua tradisi ini perayaan natal pada kedua tradisi ini dilaksanakan pada waktu yang sama dengan perayaan kafir pada zamannya. Juga, ada perbedaan penekanan inti atau tema perayaan sebagai berikut.
1. Tradisi Timur
Perayaan natal pertama dirayakan di Mesir (abad ke-3) dan menyusul di Galilea (tahun 360). Keduanya merayakannya pada tanggal 6 Januari. Ketika itu, pada tanggal yang sama masyarakat sekitar merayakan hari lahir Aion, dewa Yunani yang mewakili ‘waktu yang kekal’. Penekanan makna natal ketika itu ialah “kelahiran yang kekal dari Logos (Firman yang menjadi manusia).
Kemudian, menyusul lagi dirayakan di Konstantinopel (379), Antiokia (386), Mesir (430) dan Yerusalem (abad ke-6 atau ke-7). Penekanan perayaan natal pada waktu itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.
2. Tradisi Barat
Di Barat, Natal pertama sekali dirayakan di Roma (akhir abad ke-4), yang dirayakan pada 25 Desember. Pada waktu yang sama juga ada perayaan non-kristen yaitu Pesta Sol Invictus, perayaan kelahiran ‘Dewa matahari yang tdk terkalah-kan’. Penekanan perayaan Natal ketika itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.
Satu hal yang dapat kita garisbawahi dalam hal ini ialah persamaan waktu perayaan natal dengan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Orang-orang Kristen mau menyaksikan bahwa seorang Raja dan Tuhan yang melampaui semua raja dan tuan sudah lahir.
MAKNA AWAL PERAYAAN NATAL
Pada awalnya, perayaan natal dirayakan sedikitnya berkaitan dengan tiga hal penting sebagai berikut.
(1) Sarana Kesaksian
Seperti sudah disinggung, pada mulanya perayaan natal berlangsung bersamaan waktunya dengan perayaan kafir. Dengan demikian perayaan natal berperan sebagai sarana kesaksian kepada dunia tentang kebenaran sejarah kelahiran Yesus Kristus ke dunia ini, sekaligus mengajak kafir dalam persekutuan Kristen. Sebab, Yesus yang lahir itu adalah Juruselamat dunia.
(2) Peristiwa Liturgis
Perayaan natal tersebut menekankan peranan ibadah dan penghayatan pentingnya kedatangan Tuhan. Hal ini mengacu pada suasana seperti dalam Injil Lukas: (1) dunia dengan egoismenya; (2) Kesederhanaan kandang domba; (3) Gerak hidup yang dipimpin oleh terang cahaya bintang, yang menekankan pimpinan Tuhan dalam kehidupan.
(3) Sarana Penggembalaan
Perayaan natal dimaksudkan agar warga jemaat tidak campur atau terlibat dalam perayaan yang dilaksanakan oleh orang-orang kafir. Orang Kristen merayakan suatu peristiwa yang jauh lebih besar dari perayaan-perayaan kafir itu di gereja.
PERAYAAN NATAL YANG BERMAKNA
Menurut Konfesi Augsburg (pengakuan Iman Lutheran), pasal XV, perayaan gerejawi yang dapat dipelihara adalah:
• Yang dapat dilaksanakan tanpa berdosa
• Yang menciptakan damai dan ketertiban dalam gereja
• Bukan alat demi keselamatan
• Bukan mengambil hati Allah untuk memperoleh anugerah
Bertolak dari makna natal sebagaimana dalam awal sejarahnya dan makna perayaan gerejawi (termasuk perayaan natal) sebagaimana disebut dalam Konfesi Augsburg tadi, berikut ini ada beberapa hal yang menurut hemat saya perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian kita, yakni:
1. Hendaknyalah perayaan natal dilakukan sejak 24 Desember dan bisa dilanjutkan hingga minggu pertama Januari. Jika perayaan dilakukan sebelum natal, alangkah baiknya kalau yang dirayakan adalah ‘perayaan penyambutan natal’ atau perayaan ‘Advent’.
2. Yang menjadi penekanan adalah ibadah, perenunungan, kesederhanaan dan aksi konkret, tidak terutama kemeriahan fisik dan ‘pesta makan’. Secara khusus jemaat-jemaat yang memiliki uang banyak, perayaan natal inilah kesempatan membantu saudara-saudara kita yang berkekurangan. Pengeluaran perayaan natal ribuan dollar atau jutaan rupiah hanya untuk diri sendiri (makan, hadiah, dekorasi dsb) sudah menyimpang dari hakekat perayaan natal. Kita perlu mendidik anak-anak untuk ‘memberi’ pada masa natal, bukan malah menerima hadiah-hadiah.
3. Acara perayaan hendaknya disusun sedemikian rupa, bukan menjadi ajang pamer diri tetapi mengajak semua peserta ibadah merenungkaan makna natal. Tidak terlalu panjang atau bertele-tele, sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa untuk mendengarkan kotbah atau pemberitaan firman.
4. Kelahiran Yesus adalah dalam rangka ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) dan demi damai sejahtera. Karenanya, perayaan natal kiranya menolong kita semua menghayati kasihNya yang begitu besar dan kita sungguh-sungguh memiliki ‘damai sejahtera’ jauh dari ketegangan apalagi perselisihan pada masa-masa perayaan Natal.
Di samping itu, tidak rahasia lagi bahwa bagi sebagian orang perayaan natal tidak bisa dipisahkan dengan menu istimewa. Itu sebabnya ada yang meplesetkannya dalam bahasa Batak, yang inti dalam natal adalah sukacita karena tubu Tuhanta (kelahiran Tuhan) menjadi tu butuhanta (urusan perut). Bagi sebagian orang, Natal tidak lengkap tanpa binda (potong-memotong ternak secara bersama).
Kenyataan-kenyataan demikian dapat mengakibatkan perayaan natal hanya menyisakan sedikitnya empat hal yang tidak perlu, yakni:
(1) Sampah, baik sisa dan bungkus makanan maupun bahan dekorasi. Sisa-sisa ini menambah pekerjaan petugas kebersihan kota dan (terutama) menambah kehancuran alam semesta.
(2) Penyakit. Sebab, sejak masa latihan dan perayaan yang begitu banyak diikuti bisa membuat tubuh menjadi lelah, masuk angin (apalagi karena Desember umumnya musim hujan), dan kelebihan kolestrol. Belum lagi, bagi sebagian ibu-ibu yang karena lama menunggu di salon terpaksa malam harinya tidur telungkup supaya riasan rambutnya tidak rusak dan bisa dipakai untuk perayaan natal yang lain besok harinya. Maklumlah, di samping agak mahal biayanya juga terlalu lama menunggu di salon. Kalau tiga malam telungkup, apa tidak menyebabkan penyakit? Ada pula kaum perempuan yang mengubah rambutnya. Yang keriting diluruskan alias direbonding (untuk itu butuh lima jam). Yang rambutnya lurus dikeritingkan. Yang ubanan dicat atau disemir hitam. Yang hitam diubah menjadi warna abu-abu atau merah jambu bahkan ada juga yang berbelang-belang. Agak repot memang.
(3) Hutang. Baik hutang Panitia yang mungkin tidak berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan, maupun hutang keluarga-keluarga karena pengeluarannya yang membengkak. Saya mengamati bahwa Dinas Pegadaian di beberapa tempat lebih ramai dikunjungi orang pada bulan Desember. Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk biaya yang berkaitan dengan perayaan natal. Sebenarnya tidak ada hubungan perayaan natal dengan kursi atau gordin jendela baru. Tetapi bagi sebagian orang, saat natal merupakan waktu untuk membeli semua itu. Tidak salah memang, asal jangan sampai orang Kristen kehilangan sukacita dan damai pada saat perayaan ini, hanya karena faktor-faktor lahiriah.
(4) Perselisihan. Mengapa? Orang yang lelah biasanya gampang tersinggung dan marah. Perselisihan bisa terjadi di dalam tubuh kepanitiaan Natal, di tengah keluarga dan lain-lain. Amat menyedihkan jika hal-hal inilah yang tersisa, sehingga inti natal sebagai’ sukacita dan damai sejahtera’ menjadi sirna.
Agar perayaan natal yang kita lakukan sungguh-sungguh menjadi kemuliaan Tuhan dan sukacita serta damai sejahtera bagi kita, kita perlu berpaling sejenak pada sejarah natal, bagaimana perayaan gerejawi seharusnya dilakukan, dan bagaimana merayakan natal yang bermakna.
SEJARAH PERAYAAN NATAL
Di sini perlu dilihat tradisi Timur dan tradisi Barat yang dalam kedua tradisi ini perayaan natal pada kedua tradisi ini dilaksanakan pada waktu yang sama dengan perayaan kafir pada zamannya. Juga, ada perbedaan penekanan inti atau tema perayaan sebagai berikut.
1. Tradisi Timur
Perayaan natal pertama dirayakan di Mesir (abad ke-3) dan menyusul di Galilea (tahun 360). Keduanya merayakannya pada tanggal 6 Januari. Ketika itu, pada tanggal yang sama masyarakat sekitar merayakan hari lahir Aion, dewa Yunani yang mewakili ‘waktu yang kekal’. Penekanan makna natal ketika itu ialah “kelahiran yang kekal dari Logos (Firman yang menjadi manusia).
Kemudian, menyusul lagi dirayakan di Konstantinopel (379), Antiokia (386), Mesir (430) dan Yerusalem (abad ke-6 atau ke-7). Penekanan perayaan natal pada waktu itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.
2. Tradisi Barat
Di Barat, Natal pertama sekali dirayakan di Roma (akhir abad ke-4), yang dirayakan pada 25 Desember. Pada waktu yang sama juga ada perayaan non-kristen yaitu Pesta Sol Invictus, perayaan kelahiran ‘Dewa matahari yang tdk terkalah-kan’. Penekanan perayaan Natal ketika itu ialah Kelahiran historis Yesus dalam kandang domba.
Satu hal yang dapat kita garisbawahi dalam hal ini ialah persamaan waktu perayaan natal dengan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Orang-orang Kristen mau menyaksikan bahwa seorang Raja dan Tuhan yang melampaui semua raja dan tuan sudah lahir.
MAKNA AWAL PERAYAAN NATAL
Pada awalnya, perayaan natal dirayakan sedikitnya berkaitan dengan tiga hal penting sebagai berikut.
(1) Sarana Kesaksian
Seperti sudah disinggung, pada mulanya perayaan natal berlangsung bersamaan waktunya dengan perayaan kafir. Dengan demikian perayaan natal berperan sebagai sarana kesaksian kepada dunia tentang kebenaran sejarah kelahiran Yesus Kristus ke dunia ini, sekaligus mengajak kafir dalam persekutuan Kristen. Sebab, Yesus yang lahir itu adalah Juruselamat dunia.
(2) Peristiwa Liturgis
Perayaan natal tersebut menekankan peranan ibadah dan penghayatan pentingnya kedatangan Tuhan. Hal ini mengacu pada suasana seperti dalam Injil Lukas: (1) dunia dengan egoismenya; (2) Kesederhanaan kandang domba; (3) Gerak hidup yang dipimpin oleh terang cahaya bintang, yang menekankan pimpinan Tuhan dalam kehidupan.
(3) Sarana Penggembalaan
Perayaan natal dimaksudkan agar warga jemaat tidak campur atau terlibat dalam perayaan yang dilaksanakan oleh orang-orang kafir. Orang Kristen merayakan suatu peristiwa yang jauh lebih besar dari perayaan-perayaan kafir itu di gereja.
PERAYAAN NATAL YANG BERMAKNA
Menurut Konfesi Augsburg (pengakuan Iman Lutheran), pasal XV, perayaan gerejawi yang dapat dipelihara adalah:
• Yang dapat dilaksanakan tanpa berdosa
• Yang menciptakan damai dan ketertiban dalam gereja
• Bukan alat demi keselamatan
• Bukan mengambil hati Allah untuk memperoleh anugerah
Bertolak dari makna natal sebagaimana dalam awal sejarahnya dan makna perayaan gerejawi (termasuk perayaan natal) sebagaimana disebut dalam Konfesi Augsburg tadi, berikut ini ada beberapa hal yang menurut hemat saya perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian kita, yakni:
1. Hendaknyalah perayaan natal dilakukan sejak 24 Desember dan bisa dilanjutkan hingga minggu pertama Januari. Jika perayaan dilakukan sebelum natal, alangkah baiknya kalau yang dirayakan adalah ‘perayaan penyambutan natal’ atau perayaan ‘Advent’.
2. Yang menjadi penekanan adalah ibadah, perenunungan, kesederhanaan dan aksi konkret, tidak terutama kemeriahan fisik dan ‘pesta makan’. Secara khusus jemaat-jemaat yang memiliki uang banyak, perayaan natal inilah kesempatan membantu saudara-saudara kita yang berkekurangan. Pengeluaran perayaan natal ribuan dollar atau jutaan rupiah hanya untuk diri sendiri (makan, hadiah, dekorasi dsb) sudah menyimpang dari hakekat perayaan natal. Kita perlu mendidik anak-anak untuk ‘memberi’ pada masa natal, bukan malah menerima hadiah-hadiah.
3. Acara perayaan hendaknya disusun sedemikian rupa, bukan menjadi ajang pamer diri tetapi mengajak semua peserta ibadah merenungkaan makna natal. Tidak terlalu panjang atau bertele-tele, sehingga tidak ada lagi perhatian yang tersisa untuk mendengarkan kotbah atau pemberitaan firman.
4. Kelahiran Yesus adalah dalam rangka ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) dan demi damai sejahtera. Karenanya, perayaan natal kiranya menolong kita semua menghayati kasihNya yang begitu besar dan kita sungguh-sungguh memiliki ‘damai sejahtera’ jauh dari ketegangan apalagi perselisihan pada masa-masa perayaan Natal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar