MEMENTO MORI: Kajian singkat tentang MINGGU ”PARNINGOTAN DI ANGKA NAUNG MONDING”
1. Pada hari Minggu ini, 22 November
2009, sesuai dengan kalender Gerejawi HKBP, akan menyelenggarakan Ibadah
Akhir Tahun (“Ujung Taon Parhuriaon”) sekaligus “Parningotan di angka
naung monding”. Ibadah Akhir Tahun berarti bahwa HKBP akan memasuki
masa-masa Advent. Kata “Advent” berasal dari bahasa Latin, yaitu:
“Adventus” yang berarti kedatangan Allah. Istilah ini dahulu dipakai
dalam kekaisaran Romawi untuk menyambut kedatangan kaisar yang dianggap
sebagai dewa, kemudian dipakai oleh pengikut-pengikut Kristus untuk
menyatakan bahwa bagi mereka bukan kaisar, melainkan Kristus adalah Raja
dan Tuhan. Masa Advent adalah masa persiapan sebelum Natal, yakni masa
persiapan untuk menghayati makna kedatangan Kristus, sesuai dengan
penantian Mesias oleh umat Israel yang terungkap dalam Alkitab
Perjanjian Lama, juga sehubungan dengan kedatanganNya pada akhir Zaman.
Namun, bukan Minggu Advent yang hendak dijelaskan dalam tulisan ini,
tetapi Minggu “Parningotan di angka naung monding”.
Di Gereja HKBP, Minggu “Parningotan di
angka naung monding” dilaksanakan pada Minggu ketiga bulan November atau
minggu terakhir sebelum Minggu Advent I (tahun ini pada tanggal 22
November 2009). Di Gereja Roma Katolik, hal ini dilaksanakan pada
tanggal 2 November (lih. Pdt. DR. A.A. Sitompul, Bimbingan Tata Kebaktian Gereja: Suatu studi perbandingan, BPK-GM, Jakarta, 1993, hl. 87).
Di kalangan Gereja Evangelis pesta ini
dimulai sejak pemerintahan raja Friderich Wilhelm III tahun 1816 yang
mengadakan pesta peringatan bagi orang-orang yang meninggal dunia dalam
masa perang kemerdekaan. Pada masa sekarang ini minggu tersebut diadakan
pada minggu akhir gerejawi (bulan November) dan di Eropa minggu ini
disebut dengan minggu abadi, di mana minggu itu tidak hanya berhubungan
dengan saat-saat terakhir sebelum kematian tetapi juga menunjuk kepada
hari-hari penggenapan janji Allah pada akhir dunia ini, sehingga di
dalamnya terdapat berita penghiburan dan berita kesukaan.
2. Apa yang
mendasari Gereja Roma Katolik melaksanakan Peringatan bagi orang-orang
yang meninggal dan apakah perbedaannya dengan HKBP? Menurut Y. Dwi
Harsanto, Pr., (lih. http://via-veritas.com/memento-mori/) dasar berpijak Gereja Roma Katolik adalah sebagai berikut:
a. Maut tidak memutus relasi
Y. Dwi Harsanto, Pr menitikberatkan pada
surat rasul Paulus dalam 1 Tesalonika 4:13-18 yang mengenai orang-orang
yang sudah meninggal sebagai tanda harapan akan keselamatan dalam
Kristus dan karenanya orang Kristen diminta saling menghibur. Kematian
tidak memutuskan relasi antar-kita dalam iman akan Yesus Kristus yang
bangkit dari alam maut dan mempersatukan orang percaya. Relasi setelah
kematian berupa doa, kenangan dan inspirasi, bukan lagi relasi fisik dan
verbal.
Hal itu dihubungkan dengan Pengakuan Iman
Rasuli bagian III: “Aku percaya akan Communio Sanctorum yang
diterjemahkan sebagai “persekutuan para kudus”. Selanjutnya menurut Y.
Dwi Harsanto Pr., sebenarnya, Communio Sanctorum punya dua arti: Pertama,
Orang-orang Kudus, yakni orang-orang yg sudah dibaptis, baik yang masih
hidup maupun yg sudah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang sudah
“dikuduskan” atau dikhususkan untuk Allah. Arti kedua
adalah hal-hal kudus (sakramen-sakramen Gereja). Maka setelah baptisan
dan perayaan sakramen khususnya ekaristi, kita dipersatukan satu sama
lain berkat iman dalam Gereja sampai kekal.
b. Ekaristi: Tanda Cinta Abadi
Menurut Gereja Roma Katolik, mereka yang
masih hidup dapat membantu jiwa-jiwa yang menderita kerinduan di api
penyucian dengan doa, amal, perbuatan-perbuatan baik, dan khususnya
dengan Perayaan Ekaristi. Tindakan-tindakan mereka itu dapat membantu
mengurangi “masa tinggal” mereka di api penyucian. Mereka percaya bahwa
jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan
menanggung dosa-dosa ringan dan luka / rusak relasi akibat dosa, maka
Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu
memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan
mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut
ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.
c. Tanda Harapan Sepanjang Sejarah
Katekismus Gereja Katolik menyatakan,
“Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang
mati dan membawakan doa dan terutama kurban misa/Ekaristi untuk mereka,
supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan”
(no. 1032). Sebenarnya “zaman dahulu” ini berakar bahkan dalam
Perjanjian Lama, sebagaimana dihubungkan dengan Kitab Makabe yang Kedua.
Di dalamnya dituliskan bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban
penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan
mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; “Mereka pun
lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus
semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe]
disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang
sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45).
3. Dalam Konfesi HKBP tahun 1996 pasal 15 tentang PERINGATAN AKAN ORANG YANG MENINGGAL mengatakan sebagai berikut:
Kita mempercayai dan menyaksikan:
Kematian adalah akhir dari hidup manusia
di dunia ini, dia berhenti dari segala pekerjaannya. Ada keselamatan
bagi orang yang percaya. Yesus Kristus yang telah bangkit itulah yang
membangkitkan orang dari kematian, Dialah Tuhan dari orang yang hidup
dan yang mati (Rm. 14:7-9).
Berbahagialah orang yang mati di dalam Tuhan yang setia sampai akhir (Why.14:13).
Gereja menyelenggarakan peringatan bagi
orang yang meninggal untuk menyadarkan iman kita supaya kita mengingat
akan akhir hidup kita sendiri serta meneguhkan pengharapan akan
kemenangan Kristus mengalahkan kematian, demikian juga pengharapan akan
kerajaan sorga sebagai tujuan jiwa-roh kita dan persekutuan orang
percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Yesus Kristus yang kedua
kali.
Dengan ajaran ini:
Kita menekankan pengharapan keselamatan
manusia dari antara orang yang mati di dalam Yesus Kristus. Kita
menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang hidup dapat
menerima berkat dari orang mati.
Kita menentang pandangan yang mengatakan
bahwa orang yang mati dapat berhubungan dengan orang yang hidup dengan
mendoakan arwah-arwah. Kita menentang pandangan yang mengatakan bahwa
haruslah mendirikan tugu untuk menghormati orang yang mati sebagai cara
menerima berkat bagi keturunannya.
Dan dengan ajaran ini:
Kita menolak semua bentuk ajaran agama
kekafiran terutama ajaran tentang roh yang mengatakan: roh orang yang
meninggal itu hidup, dan roh orang meninggal itu menjadi hantu dan roh
leluhur (sumangot).
Pada waktu peringatan orang yang
meninggal, baiklah kita mengingat untuk mengucap syukur kepada Allah,
akan segala perbuatannya yang baik pada waktu masih hidup, tetapi tidak
untuk memohon berkat dan tanda kesurupan dari yang telah meninggal itu.
4. Jelas sekali bahwa Gereja Roma Katolik
berbeda dengan Gereja HKBP dalam memahami Minggu “Parningotan di angka
naung Monding”. Gereja Roma Katolik memahami bahwa ada relasi antara
orang yang meninggal dengan orang hidup dengan dasar berpijak kepada 1
Tes.4:13-18 dan Pengakuan Iman Rasuli bagian III, ekaristi dan tanda
harapan sepanjang sejarah. Sementara HKBP menentang pandangan yang
mengatakan bahwa orang yang mati dapat berhubungan dengan orang yang
hidup dengan mendoakan arwah-arwah (itu berarti tidak ada
relasi/hubungan sama sekali). Gereja HKBP menyelenggarakan peringatan
bagi orang yang meninggal untuk menyadarkan iman kita supaya kita
mengingat akan akhir hidup kita sendiri serta meneguhkan pengharapan
akan kemenangan Kristus mengalahkan kematian, demikian juga pengharapan
akan kerajaan sorga sebagai tujuan jiwa-roh kita dan persekutuan orang
percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Yesus Kristus yang kedua
kali.
5. Memento Mori. Kalimat itu kurang lebih berarti berarti ”Ingatlah akan kematian”.
Pepatah bijak itu mengingatkan kita akan hakikat kehidupan. Memang,
kematian adalah sebuah kepastian bagi setiap manusia. Datangnya maut
adalah sebuah janji di akhir kehidupan. Manusia yang berakal budi dan
bereligiositas mempunyai kesadaran yang mendalam tentang kepastian akan
kematian dan maut. Maka, kata filsuf Heidegger, hidup adalah suatu ziarah menuju liang lahat. Maut adalah the void within.
Artinya, maut adalah suatu kekosongan yang menganga di pusat kehidupan
semua manusia yang setiap saat dapat menenggelamkan manusia ke dalam
jurang ketiadaan.
Kematian yang sifatnya pasti bagi setiap manusia, dikatakan filsuf Karl Jaspers, tidak lain sebagai “situasi-situasi batas” (Grenz-situationen),
yaitu momen ketika orang tahu harus berbuat sesuatu, tapi nyatanya ia
tidak mampu lagi melakukan apa pun. Suatu pengalaman manusia tentang
ketidakmampuan asasi yang sifatnya eksistensial. Epicuros menulis soal
ketidakberdayaan manusia itu, selama kita masih hidup, kematian itu
belum ada, tapi tatkala kematian itu tiba, kita tidak ada lagi.
Kematian sebagai realitas universal yang
sifatnya pasti itu hingga kini pun terus menjadi misteri yang menggugah
nalar dan perhatian hampir setiap orang. Dalam khazanah filsafat,
teologi, sastra, dan psikologi, topik tentang kematian terus ditelaah
serta diperdebatkan. Para filsuf, teolog, sastrawan, dan psikolog tidak
henti-hentinya menjadikan kematian menu utama refleksinya.
Pemikir eksistensi manusia, Albert Camus,
menegaskan, selain mengapa manusia bertahan hidup, kematian merupakan
persoalan filosofis dan teologis terpenting sekaligus terpelik.
Beberapa sastrawan juga memandang
kematian sebagai kekalahan yang tidak dapat dihindari sebagai ujung yang
mengerikan sekaligus mengagungkan dari perjuangan mengarungi hidup.
Chairil Anwar memberi kesan bahwa hidup hanya menunda kekalahan. “Memento mori”, mengingatkan kita kepada kematian dan kefanaan hidup.
Karena kematian itu ibarat misteri yang
menggetarkan eksistensi manusia, dan menganga di pusat kehidupan
manusia, kematian layak merembet ke seluruh rana refleksi filsafat,
teologi, sastra, psikologi, dan sosial. Kematian kerap menjadi pembuka
cakrawala kehidupan manusia, masa lampau, masa kini, dan masa depan.
Bahkan ia dapat membuka jalan bagi pembaruan filsafat, teologi, sastra,
psikologi, dan sosial itu sendiri.
Dari perspektif teologi, ia telah membuka jalan bagi telaah teologi yang bersentuhan dengan soal-soal eskhata
atau hal-hal terakhir dalam hidup manusia yang bisa menjadi awal
kebahagiaan kekal atau kematian kekal. Sebab, dalam teologi, pembicaraan
seputar kematian tidak terlepas dari surga dan neraka, di samping
perbincangan perihal eskatologi (eskaton) masa depan kehidupan manusia.
Yang menjadi bahan diskusi di kalangan para teolog, seperti aliran teologi proses (process theology)
yang dimotori John Cobb, David R. Griffin, dan Norman Pittenger, adalah
bukan hanya menyangkut pemaknaan hidup sehari-hari, melainkan lebih
berfokus pada soal bagaimana dalam sejarah kehidupan ini terjadi apa
yang kerap disebut realisasi “rencana-rencana” Allah yang menciptakan
dan memelihara lalu menyelamatkan manusia. Atau, secara lebih jelas
dalam teologi, pertama-tama bukan lagi mau bicara tentang apa itu
kematian atau hidup sesudah mati (after life), melainkan tentang bagaimana janji-janji Sang Khalik itu akhirnya mengena pada kepenuhan hidup manusia.
Dalam konteks inilah pandangan teolog
asal Jerman, Karl Rahner, menemukan kebenaran bahwa eskatologi
sesungguhnya adalah sebuah antropologi teologik, dengan pandangan
tentang kematian juga mencerminkan jiwa, pandangan hidup, serta struktur
sosial budaya. Artinya, proses mengerti perihal kematian sebagai suatu
nilai hidup yang eksistensial juga harus merupakan suatu faktor yang
inheren pada manusia. Kita lalu melihat, kematian dalam ungkapan
pengalaman manusia, baik dari pergumulan filsafat maupun teologi, bukan
hanya menjadi suatu “sosok” yang menakutkan, melainkan juga sebagai
“peristiwa” iman yang mengagungkan. Dalam lirik musik, film-film, dan
ritual-ritual penguburan, tampak bahwa orang begitu gembira. Banyak suku
menghayati kematian sebagai peristiwa yang menggembirakan, sehingga
tatkala kematian menyergap orang-orang tercinta, langsung disambut
dengan ritual-ritual kegembiraan yang diiringi musik dan nyanyian.
Teolog L. Boros pernah menulis bahwa
kematian adalah pengalaman sangat istimewa ketika manusia secara
definitif dan jelas menentukan sikapnya kepada Allah. Itu karena
kematian membawa setiap manusia pada refleksi tentang hidup. Dan sebagai
manusia yang memiliki religiositas, tentu lahir suatu fakta yang
mengeksplisitkan sebuah imperatif mengenai mutlak perlunya refleksi iman
atas peristiwa kematian itu sendiri. Maka di dalamnya tak jarang pula
muncul kepasrahan. Atau, menurut Karl Jaspers, surrender is readiness to live, no matter, how to accept life whatever happens.
Kematian, sebagaimana juga hidup, adalah
pasti. Ia juga begitu akrab sebagai bagian dari proses alam yang wajar.
Maka kini bergantung pada manusia dalam memahami dan menghadapi
kematian; entah menakutkan, menggetarkan, mengagungkan, entah
menggembirakan. Semuanya akan berjalan sekarang dan di depan manusia.
Seperti kata Heidegger di atas, maut itu adalah suatu kekosongan yang
menganga di pusat kehidupan kita. Kekosongan itu semakin lama semakin
lebar, hingga akhirnya akan menelan kita ke dalam jurang ketiadaan.
Lebih dari itu, adanya kematian
setidaknya memberi inspirasi bagi semua orang untuk mau tidak mau harus
berbuat baik, bekerja keras untuk mengabdi, agar kematian itu menjadi
akrab dan diterima dengan senyum, ceria, serta disyukuri. Minimal,
setiap manusia dapat menghadapi kematiannya sendiri dengan sigap dan
berani. Memento mori, “ingot ma ari hamamatem”.
Manusia takut pada kematian
sebagaimana anak-anak takut pergi ke kegelapan; dan sebagaimana
ketakutan alami bertambah karena cerita-cerita, demikian juga hal-hal
lainnya.
Francis Bacon (1561-1626) Filsuf Inggris
Setiap manusia sejatinya merasa akan
hidup abadi; mungkin dia tahu bahwa dia menuju kematian, tapi dia takkan
pernah tahu bahwa dia telah mati.
Samuel Butler (1835-1902) Penyair Inggris
Ketika mati, kamu mati. Begitu saja.
Marlene Dietrich (1901-1992) Aktris Hollywood
Anak-anak yang sehat tak akan takut hidup, jika orang tua mereka memiliki cukup integritas untuk tak takut mati.
Erik H. Erikson (1902-1994) Psikolog Amerika
Manusia yang tak mau menyabung nyawa untuk sesuatu tak layak hidup.
Martin Luther King, Jr. (1929-1968) Peraih Nobel Perdamaian
Kematian tak lebih dari perpindahan
dari satu kamar ke kamar lain. Tapi ada perbedaan bagiku, kamu tahu kan,
karena di kamar lain itu aku akan mampu melihat.
Helen Keller (1880-1968) Penulis Amerika Serikat yang buta.
Namun, ingatlah perkataan Rasul Paulus,
Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan
(Filipi 1:21)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar