Seminar
Pengajaran
PEMAHAMAN
PLURALISME
DARI
PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA (NU)
Ditulis oleh,
Gr. JOHN SB MANURUNG
(NIM : 09.2459)
Dosen Pengampu :
Pdt. R. Hutahaean,
M.Th
Pdt. R.J. Siagian,
M.Si
Sekolah Tinggi Theologia
HURIA KRISTEN
BATAK PROTESTAN
(STT HKBP)
PEMATANGSIANTAR
2012
Seminar Pengajaran
Nama : John SB Manurung
NIM : 09.2459
Mata
Kuliah : Seminar Pengajaran (Perbaikan)
Dosen : Pdt. R. Hutahaean, M.Th &
Pdt. R.J. Siagian, M.Si.
_________________________________________________________________________
PEMAHAMAN
PLURALISME
DARI PERSPEKTIF NAHDLATUL
ULAMA (NU)
I. Kata Pengantar
Saat ini,
keberagaman (pluralitas) merupakan realitas yang terus berkembang dan tidak
mungkin dihindari, apalagi dihapuskan dari peradaban manusia. Pluralitas hadir
di segala aspek kehidupan, baik di bidang budaya, ekonomi, politik, dan juga
agama. Secara khusus, pluralitas agama melahirkan dua pandangan kontradiktif,
yaitu sikap toleran dan intoleran terhadap perbedaan. Pandangan yang pertama
(toleran) memahami bahwa bahwa perbedaan
adalah bagian dari kehendak Sang Khalik, sebaliknya yang kedua (intoleran)
berkaitan dengan sikap yang senantiasa menolak perbedaan. Dalam pokok bahasan
ini penyaji akan membahas “Pemahaman
Pluralisme dari Perspektif Nahdlatul Ulama (NU)”, dengan pokok bahasan
sebagai berikut:
I.
Kata Pengantar
II.
Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
2.1. Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan NU
2.2. Dokumen atau Ajaran NU
III.
Pandangan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap
Pluralisme
3.1. Pengertian Pluralisme
3.2. Pluralisme menurut Al-Qur’an
3.3. Pluralisme Menurut Sunnah Nabi Muhammad SAW
3.4. Pandangan
Tokoh-Tokoh Islam NU terhadap Pluralisme
IV.
Pluralisme dan Tantangannya di Indonesia
V.
Kesimpulan
II. Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama
didirikan pada tahun 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan
Jawa Timur. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif
terhadap berbaai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah,[1]
dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI).[2]
Walaupun
sejak awal Kiai Hasyim Asyari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka
di dalam Nahdlatul Ulama, namun tidak diragukan lagi bahwa penggerak di
belakangnya adalah Kiai Wahab Chasbullah. Ia adalah pengorganisir yang
bersemangat, baginya pembentukan NU menunjukkan bahwa NU lebih dari sekedar
usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis.[3] Pada tahun 1924, dia mengusulkan kepada
kerabat dan gurunya, Kiai Hasyim Asyari agar mendirikan sebuah organisasi yang
mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Ini terjadi setelah Kongres
Al-Islam yang pertama, di mana sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada
pendapat ulama besar masa lalu (taqlid)
banyak mendapat kritik. Banyak kiai yang enggan ikut dalam perhimpunan ini,
karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa. Untuk membujuk para kiai
yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan moral dari orang yang
lebih beribawa secara keagamaan. Kiai Hasyim Asyari, pendiri pesantren
Tebuireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat dihormati di
Jawa, dan tanpa dukungannya jelas tidak mungkin berdiri sebuah organisasi kiai
yang solid. Pada tahun 1924, Kiai Hasyim Asyari tampaknya belum melihat
perlunya mendirikan organisasi semacam ini dan tidak memberikan persetujuannya.
Namun setelah penyerbuan Ibn Sa’ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan
menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Dia kemudian menulis,
sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam
risalah ini ia menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan
bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konsekwensi
logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi (ia kutip ayat-ayat Al-Qur’an).
Rapat di rumah Kiai Wahab, yang kemudian dianggap sebagai rapat pembentukan NU,
dipimpin oleh Kiai Hasyim Asyari sendiri. Kebanyakan mereka yang hadir dalam
rapat tersebut (termasuk Kiai Wahab) mengganggap diri mereka murid Kiai Hasyim,
karena pernah belajar di pesantren Tebuireng.[4] Mereka
yang bukan ulama diberi posisi di badan eksekutif (Tanfidziyah) sementara para ulama menjadi badan legislative (Syuriyah). Secara teoritis Tanfidziyah
harus bertanggung jawab kepada Syuriyah. Kiai Hasyim Asyari menjabat, sampai
akhir hayatnya, sebagai ketua (Rois) Syuriyah. Kiai Wahab semula menjabat
sekretaris Syuriyah, tetapi segera mundur sedikit menjadi penasehat (mustasyar) namun dalam prakteknya tetapi
menjadi kekuatan penggerak organisasi.[5]
Anggaran
Dasar NU[6]
menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan
praktek keagamaan pembaru. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan
pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan kaum pembaru. Muktamar NU pertama, menetapkan tidak hanya
buku-buku penting mana yang termasuk dalam mazhab figh Syafi’i, tetapi juga
mana yang harus lebih diutamakan apabila di dalamnya terdapat fatwa-fatwa yang
berbeda.[7]
NU
lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan kehidupan keagamaan yang
berlandaskan pada paham ahl al-sunnah wal
jamaah. Dan ini merupakan juga bukti kepekaannya terhadap perkembangan.
Ketika kaum pembaharuan melancarkan serangannya terhadap kehidupan keagamaan
yang tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi kehidupan keagamaan
berdasarkan paham ahl al-sunnah wal
jamaah.[8]
2.1. Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan NU
Kesetiaan pada
tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahl al-sunnah wal jamaah. Secara bahasa ahl al-sunnah wal jamaah terdiri dari
dari tiga kata yaitu ahl (pengikut aliran atau pemeluk mazhab), al sunnah (orang-orang yang berpaham
Sunni). Kata al-sunnah dalam pengertian
yang luas diartikan juga dngan perbuatan, fatwa dan tradisi yang diintrodusir
oleh para sahabat. Sedangkan kata al-jamaah
berarti kumpulan orang yang mempunyai tujuan. Jika kata ini dikaitkan dengan
sekte-sekte Islam, maka hanya berlaku di kalangan ahl al-sunnah, karena di kalangan Khawarij dan Syi’ah Rafidah tidak
dikenal penggunaan kata jamaah.[9]
Menurut
Said Agil Siradj, yang dikutip oleh penulis buku ini memberi definisi kepada ahl al-sunnah wal jamaah adalah
orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan
toleran.[10]
Karakteristik yang selalu menjadi nilai dasar dari ajaran ahl al-sunnah wal jamaah adalah sikap tawasuth, tawazun dan ta’adul. Implementasi nilai-nilai tersebut
tercermin dari sikap penganut Sunni yang
elastis, fleksibel dan toleran dalam menghadapi pluralitas sosial dengan
berbagai ragam tradisi dan keyakinan dengan mengambil sikap tengah. Ia tidak
mendahulukan akal daripada nas, tetapi juga tidak mengebiri potensi akal. Ia
tidak mengenal tatharruf (sikap
ekstrim) dan tidak mengkafirkan sesama muslim.[11] Salah
satu ciri instrinsik dari ajaran ahl
al-sunnah wal jamaah adalah keseimbangan pada penggunaan dalil naqli dan aqli. Keseimbangan demikian memungkian adanya sikap akomodatif atas
perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian sangatlah jelas bagi
kita, jika NU berpijak dalam pemahaman dan pemikiran ahl al-sunnah wal jamaah berarti mereka adalah orang-orang mampu
menerima perbedaan, kemajemukan dan sangat toleran terhadap orang lain.
2.2. Sikap Kemasyarakatan NU
Berdirinya
NU tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahl al-sunnah wal jamaah (aswaja).
Ajaran ini bersumber dari Alqur’an, Sunnah, Ijma (keputusan-keputusan para
ulama sebelumnya), dan iyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita Alqur’an dan
hadis). Secara rinci ajaran ini, seperti dikutip oleh Marijan dari KH Mustafa
Bisri, ada tiga substansi yaitu (1) dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut
salah satu ajaran dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali),
yang dalam prakteknya para kiai NU menganut kuat mazhab Syafi’i; (2) dalam soal
tauhid (ketuhanan) menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur
Al Maturidi; (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu
Qasim Al Junaidi. Dalam mempertahankan dan mengembangkan ajaran-ajaran
tersebut, maka pesantrenlah, dalam berbagai wujud sesuai dengan
perkembangannya, yang merupakan wadah atau sarana utamanya. Melalui pesantren
para kiai NU melakukan pendogmaan tafsir
yang terdalam kitab dan terus menerus dianggap sebagai suatu kebenaran.[12]
Cita-cita
dan langkah NU sejak didirikan bertumpu pada gerakan islah (perbaikan dan peningkatan kebaikan), di mana setiap kegiatan
yang dilakukan diharapkan hasilnya akan lebih besar dan lebih bermanfaat bagi
masyarakat.
Sikap tawasuth dan i’tidal; sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung
tinggi keharusan berlaku adil dan luruh di tengah-tengah kehidupan bersama,
bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
Sikap tasamuh; sikap toleran terhadap
perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang
bersifat furu atau masalah khilafiyah, serta dalam masyarakat kemasyarakatan dan
kebudayaan.
Sikap tawazun; sikap seimbang dalam
berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama
manusia sersta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu,
masa kini dan masa datang.
Sikap ma’ruf nahi munkar; selalu memiliki
kepekaan untuk menyongson perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dari sikap
kemasyarakatan NU itu, kendati merupakan suatu pengelompokan atau komunitas
yang eksklusif dengan peran utama para kiai, namun sebenarnya mereka sangat
menjunjung tinggi realitas dan nilai-nilai keagamaan dan pluralitas. Mereka
berupaya bagaimana memperbaiki sesuatu
yang sudah ada demi kemaslahatan masyarakat dalam kondisi masyarakat yang
plural, menghargai perbedaan yang ada
dalam masyarakat dihargai dan dijunjung tinggi dengan suatu penolakan dari
adanya kebenaran yang bersifat sepihak yang seringkali secara tidak sadar
hendak dipaksakan kepada pihak lain.[13]
Nahdlatul Ulama meletakkan dasar ajarannya pada ahl al-sunnah wal jamaah, itu berarti mereka mengembangkan
ajaran-ajarannya pada prinsip dasar ini, sehingga NU tidak akan mudah jatuh
kepada sikap fundamentalis karena ia mempunyai banyak rujukan untuk memberikan
fatwanya.[14]
III. Pandangan terhadap Pluralisme
3.1. Pengertian Pluralisme
Nurdinah Muhammad, dalam
artikelnya Pluralisme dan Titik Temu
Agama-Agama, memaparkan Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak
atau berbilang atau bentuk kata yang
digunakan untuk menunjuk lebih dari satu.
Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang mengakui hakikat dunia terdiri
dari banyak unsur (sering dilawankan dengan kata monisme atau dualisme).
Pada kenyataannya pluralitas telah ada sejak keberadaan alam semesta (mahluk)
sebagaimana Tuhan menciptakannya. Juga termasuk keanekaragaman manusia dengan
berbagai aspeknya (suku, bangsa, bahasa, agama, kelompok, profesi dan sumber
daya). Hal ini jelas termaktub dalam
firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat 13, tentang jenis manusia (laki-laki
dan perempuan).[15]
DR. Abdul Mustaqim[16],
tulisannya Islam, dalam buku Meniti Kalam Kerukunan, mengatakan
bahwa pluralisme secara literal
dapat diartikan sebagai paham kemajemukan, baik dalam agama, etnis, suku,
maupun budaya. Namun, karena sering terjadi konflik sosial yang dipicu oleh isu
agama, wacana pluralisme juga sering lebih ditekankan pada masalah pluralisme agama. Di era demokrasi
dan globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat penting dan gencar
disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika semangat pluralisme
dalam beragama dipahami dengan baik, ketegangan dan konflik yang disebabkan
oleh isu agama dapat diredam atau paling tidak semakin berkurang.
Beliau
mengutip tulisan Alwi Shihab dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap terbuka dalam Beragama, (Alwi Shihab 1997), yang
mengatakan bahwa konsep pluralisme dapat diartikan dalam empat (4) pengertian
yaitu:
1) Pluralisme tidak semata-mata menunjuk
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi juga adanya keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan demikian, seseorang baru dapat
dikatakan sebagai pluralis jika ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan
kemajemukan tersebut. Jika hal ini ditarik dalam konteks pluralisme agama
berarti bahwa tiap pemeluk agama dituntut tidak saja mau mengakui keberadaan
dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan agar tercapai kerukunan dalam kebhinekaan.
2) Pluralisme berbeda dengan konsep
kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme mengacu pada suatu realitas di mana aneka
ragam agama, ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi, namun di situ
tidak ada interaksi positif.
3) Pluralisme tidak identik dengan
relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut
kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka pikir
masing-masing orang atau masyarakat. Implikasinya, seseorang akan menyatakan
semua agama adalah sama karena kebenaran agama walaupun berbeda-beda satu
dengan lainnya tetap harus diterima. Akibatnya, seorang relativisme justru tidak akan mengenal, apalagi menerima
kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Memang dalam
pluralisme ada unsur relativisme, namun setidaknya tidak ada klaim untuk
memonopoli kebenaran tunggal, terlebih lagi memaksakan kebenaran tersebut pada
penganut lain. Itulah sebagian orang enggan menggunakan kata-kata pluralisme
agama karena khawatir terjebak pada paham relativisme agama.
4) Pluralisme bukanlah sinkretisme, yaitu
mencari suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur yang ada dalam beberapa
agama demi dijadikan bagian integral dalam agama baru tersebut, seperti dalam
agama Bahaisme yang didirikan oleh Mirza Ali Nuri di Iran. Elemen-elemen agama tersebut berasal dari
agama Yahudi, Kristen dan Islam.[17]
3.2. Pluralisme menurut Al-Qur’an
Pluralitas agama
hal yang tidak mungkin dihindarkan dari tengah-tengah dunia ini, karena kondisi
plural adalah gambaran kebesaran Tuhan. Pluralisme Agama melalui perspektif Al-Qur’an, tampak bahwa Al-Quran sangat
apresiatif terhadap pluralisme. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa ayat
berikut ini :
Q.S. al-Hajj (22) :40 yang berbunyi :
Dan sekiranya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa.
Ayat tersebut
memberikan isyarat bahwa perbedaan agama sengaja dibiarkan oleh Allah untuk
menjadi kekuatan penyeimbang dan masing-masing pihak harus berlomba-lomba dalam
kebaikan.
Dalam ayat
yang lain, Al-Quran juga menegaskan tentang pluralitas suku dan bangsa
sebagaimana dalam firmanNya :
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat (49) :13).
Hal ini
memberi isyarat bahwa Allah sangat menghargai pluralitas (kemajemukan) yang
merupakan sunnatullah karena
kemanunggalan hanya milik Allah SWT.[18]
Pengakuan terhadap pluralisme, dalam
Al-Quran, ditemukan dalam banyak
terminologi yang merujuk kepada komunitas agama yang berbeda. Al-Quran
di samping membenarkan, mengakui keberadaan eksistensi agama-agama lain, juga
memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Konsep
ini secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, sementara secara
teologis turut mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki
kitab suci ilahi. Pengakuan Al-Quran terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam
kotbah perpisahan Nabi Muhammad.
Sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan bahwa,
”Kamu semua adalah
keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula
orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih
terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap
yang putih kecuali karena kebajikannya.[19]
Perkataan ini menggambarkan persamaan derajat umat
manusia di hadapan Tuhan.
Al-Qur’an juga
mengisyaratkan bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang alamiah. Allah tidak menghendaki
manusia untuk menjadi satu umat saja.
”Kalau Allah
menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat saja, tetapi memasukkan
dalam rahmat-Nya siapapun yang dikehendaki-Nya, sedangkan orang-orang yang
zalim tidak mempunyai pelindung maupun penolong” (Surat 42/al-Syurad 8).[20]
Abdul
Mustaqim mengutip apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, dalam buku Meniti
Kalam Kerukunan, bahwa Al-Quran juga memerintahkan Muhammad supaya
mempercayai Taurat dan Injil. Hal ini karena petunjuk Tuhan itu adalah
universal dan tidak terbatas pada kaum tertentu saja. ”Tidak ada suatu kaum
yang tidak pernah didatangi oleh seorang pembawa peringatan” (Q.S. Fathir
[35]:24) dan ”bagi setiap kaum telah disediakan petunjuk” (Q.S. ar-Rad [13]:7).
Perkataan Kitab sering dipergunakan
Al-Quran bukan dengan pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah
umum yang mempunyai pengertian keseluruhan wahyu Tuhan (Q.S. al-Bayyinah
[98]:3).[21]
Hal ini jelas bahwa keanekaragaman/kamajemukan sangatlah dihormati oleh
Muhammad.
3.3. Pluralisme
Menurut Sunnah Nabi Muhammad SAW
Islam lahir dalam konteks agama Yahudi dan agama Kristen
di wilayah Arab dan Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan pemenuhan
tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen. Al-Qur’an mengakui agama-agama yang
mewartakan pewahyuan Allah, yang bersikap adil dan yang menyembah Dia, agama-agama
seperti itu di dalam Al-Qur’an disebut Asal Alkitab (QS. Az Zukhruf 43:4; QS. Ar
Ra’ad 13:39, Kitab Yang terlindungi (QS. Al-Waqiah 56:78) dalam kaitan inilah
muncul pengakuan Muhammad bahwa dia tidak saja beriman kepada Taurat dan Injil
tetapi juga ” aku beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah”
bimbingan Allah menurut Al-Qur’an tidak terbatas tetapi universal bagi semua
orang. Hal ini mengungkapkan sikap Islam yang sangat toleran dan rukun ketika
masa nabi Muhammad oleh karena itu pengajaran Islam sangat positif untuk
mendorong umat Muslim supaya rukun terhadap non Islam.
Kebebasan
beragama dan penghormatan terhadap kepercayaan agama lain bukan hanya hal
penting bagi masyarakat majemuk tetapi bagi Islam sendiri hal tersebut
merupakan ajaran Al-Qur’an. Membela kebebasan beragama dan menghormati
kepercayaan orang lain justru merupakan bagian dari ajaran keIslaman. Dalam
Al-Qur’an diharuskan bagi seorang Muslim bersikap ikut bertanggungjawab menjaga
pertahanan keamanan rumah-rumah ibadah agama lain seperti biara-biara,
gereja-gereja, sinagoge-sinagoge dan masjid-masjid (bnd. QS al Hajj 22:40).
Pada hakekatnya ayat inilah yang menginspirasikan Muhammad untuk menyusun
strategi hubungan sosial politik masyarakat yang plural di Madinah yang
dituangkan dalam satu konstitusi politis yaitu Piagam Madinah yang menjamin kebebasan hidup bagi yang berbeda
agama dalam satu komunitas yang sama. Islam mengakui eksistensi agama-agama
yang ada dan menerima beberapa prinsip ajarannya. Namun demikian bukan berarti
bahwa semua agama adalah sama, sebab setiap agama memiliki kekhasan, keunikan dan
karakteristik yang membedakannya dengan agama lain yang disebabkan karena
kelahiran setiap agama memiliki konteks historis dan tantangannya sendiri.[22]
Masyarakat Madinah
adalah masyarakat yang majemuk dan sering sekali terjadi konflik di antara
mereka. Muhammad menyadari bahwa hal harus segera diatasi yang dengan membentuk
Piagam Madinah yang didasarkan atas persatuan dan persaudaraan di dalam
kemajemukan tersebut. Piagam Madinah dikenal sebagai perjanjian Madinah yang
merupakan suatu piagam politik yang mengandung tata aturan kehidupan bersama
antara kaum muslimin dan kaum Yahudi di Madinah.[23]
Dalam Islam, Al-Qur’an memandang
agama Nasrani [Kristen] di samping Yahudi, sebagai agama serumpun dalam Abrahamic religions, dan menyikapi umat
Kristiani, sebagai salah satu bagian dari ahli Kitab. Secara umum, pandangan
Islam terhadap ahli Kitab sangat positif dan konstruktif (tetapi juga kritis). Al-Qur’an
5:85 menegaskan bahwa ”makanan ahli Kitab
adalah halal bagimu (umat Islam) dan makananmu (umat Islam) halal bagi mereka,
serta wanita ahli Kitab (halal pula bagi umat Islam untuk dinikahi)”.
Halalnya makanan ahli Kitab bagi umat Islam dan halalnya wanita ahli Kitab
dinikahi umat Islam merupakan simbol perwujudan dari persahabatan dan
kekerabatan yang paling konkrit antar komunitas yang berlainan agama tersebut.
Dalam semangat
ajaran Islam, seluruh umat manusia apapun agama yang dianutnya harus dihormati
dan dihargai. Nilai-nilai dan ajaran Islam memberikan ruang yang cukup luas
bagi umat Islam untuk mengembangkan hubungan dan interaksi sosial budaya kepada
umat Kristiani. Pada saat yang sama Islam sangat ketat melarang umatnya untuk
melakukan perbuatan yang berdampak pada terciptanya disharmonisasi sosial dalam
suatu masyarakat.[24]
3.4. Pandangan Tokoh-Tokoh NU terhadap
Pluralisme
3.4.1. K.H.
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid lahir pada hari
ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur
dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholehah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir
tanggal 4 Agustus 1940, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari
kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban 1359,
sama dengan 7 September 1940 dan Gus dur
Wafat, pada tanggal 30 Desember 2009.
M.
Hamid, dalam bukunya yang berjudul Gus
Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, yang diterbitkan oleh
Pustaka Marwa, Yogyakarta, mengatakan bahwa Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Addakhil berarti Sang Penakluk, sebuah nama yang diambil dari Wahid Hasyim,
orangtuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Abdurrahman Wahid kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. Gus adalah panggilan
kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti abang atau mas.[25] Gus
Dur menikah dengan Sinta Nuriyah, pernikahan itu berlangsung pada tanggal 11
Juli 1968, Gus Dur melangsungkan pernikahan jarak jauh. Inilah kejadian heboh
pertama dari Gus Dur untuk keluarga istrinya. Karena Gus Dur masih berada di
Mesir, terpaksa pernikahan dilakukan tanpa menghadirkan mempelai laki-laki (in absentia). Sehingga pihak keluarga
meminta kakek Gus Dur dari garis Ibu, K.H. Bisri Syamsuri, yang berusia 68
tahun, untuk mewakili mempelai pria. Pernikahan ini sempat membuat geger tamu
yang menyaksikan acara ijab kabul. Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah
tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada tanggal 11 September 1971,
pasangan Gus Dur-Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan.[26]
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
adalah salah satu tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme
agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur
menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus
berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal
hambatan. Gus Dur digelari Bapak
Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam
kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen dan
Katolik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia pun mengakuinya.[27]
Gus Dur memiliki pemikiran-pemikiran
yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan
laki-laki di Indonesia. Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan
dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap
menjadi ciri khasnya. Ia mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara
pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini. Gus
Dur dipuji karena memperjuangkan pluralisme yang berintikan pada semangat memaklumi
segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama[28]. Dalam
setiap ajarannya Gus Dur menekankan perlunya kebersamaan atau kerukunan
antar-umat beragama. Sebab dengan cara itu umat Islam bisa hidup damai di bumi.
Gus Dur juga sebagai sosok humanis dan
tidak membedakan satu dengan lainnya.[29]
Badiatul
Roziqin, dkk. dalam bukunya 101
Jejak Tokoh Islam Indonesia, mengatakan bahwa, menurut Gus Dur, penafsiran
ulang atas ajaran-ajaran Islam menjadi kebutuhan zaman, karena tanpa proses
penafsiran ulang itu, tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat
Al-Quran. Kemudian Badiatul Roziqin, dkk. mengkategorikan Gus Dur sebagai salah
satu cendikiawan Neo Modernis, di mana Neo Modernis sangat mengedepankan
pemahaman Islam yang terbuka, inklusif, liberal terutama dalam menerima
realitas faktual pluralisme masyarakat dan condong untuk menekankan sikap
toleran dan harmonis dalam hubungan antar komunitas.[30]
3.4.2. Prof. DR. Nurcholish Madjid
Nurcholish
Madjid, lahir 17 Maret 1939, menikah dengan Omi Komariah, direstui dua orang
anak yaitu Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Nurcholish Madjid wafat 29 Agustus
2005, di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan. Pendidikannya di mulai dari
Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur sampai dengan melanjutkan
studi ke The University of Chicago
(Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 meraih gelar Ph.D, Studi Agama Islam. Jabatan yang
diembannya, mulai dari Anggota MPR-RI, Anggota Dewan Pers Nasional, Peneliti
Senior LIPI sampai kepada Rektor Universitas Paramida Mulya Jakarta.
Badiatul
Roziqin, dkk. penulis buku 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, menyebutkan Nurcholish Madjid, yang populer
dipanggil Cak Nur, adalah sebuah ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di
Indonesia. Ia adalah cendikiawan muslim yang taat memegang teguh kebenaran dan
keadilan. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual
muslim terdepan. Tak berlebihan jika Nurcholish Madjid dijuluki sebagai guru
bangsa. Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi dan peradaban.
Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah
inti dari nilai keadaban itu, termasuk didalamnya penegakan hukum yang adil dan
pelaksanaan hak asasi manusia.[31]
3.4.3. Alwi Shihab
Beliau adalah tokoh NU, pendorong awal dan pengkampanye
penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk menatar
karyawan tentang paham pluralisme agama di satu instansi meliputi Jawa dan
Madura. Alwi Shihab juga mengutuk orang yang ingin menegakkan syariat Islam di
Indonesia, karena baginya Indonesia bukan negara Islam.[32]
Semangat
pluralisme sangatlah tinggi, ia sangat menghormati dan menghargai perbedaan dan
kemajemukan, karena bumi Indonesia pertiwi dibangun atas dasar kebinekaan.
3.4.4. Quraish
Shihab
Adalah seorang mantan menteri Agama 70 hari zaman
Soeharto dan mantan rektor IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan ”
Selamat Natal” diklaim sebagai sesuai Al-Qur’an. Ia menulis dengan judul ”Selamat Natal menurut Al-Qur’an”. Ini
membuktikan betapa tolerannya Qurais Shihab, ia sangat terbuka dan penganut paham
pluralisme.[33]
3.4.5. Said Agil
Siradj
Said Agil Siradj pernah meminta pemerintah segera
membersihkan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak berlandaskan azas
Pancasila dan UUD 1945, ia juga dikabarkan membela kaum Syiah dan Ahmadiyah.
Hal ini mengindikasikan bahwa ia sangat menganut paham pluralisme, memelihara
perbedaan dan keberagaman, karena merupakan anugerah Tuhan. Beliau juga Dosen
pasca sarjana UIN Jakarta, tokoh sekaligus ketua PBNU.[34]
IV. Pluralisme dan Tantangannya di Indonesia
M. Hamid, dalam bukunya Gus
Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, menuliskan bahwa pemikiran besar
Gus Dur seperti Pluralisme, multikulturisme dan sekularisme menjadi perdebatan
hangat di kalangan umat Islam. MUI dalam Fatwanya mengecam ide sekularisme,
pluralisme dan liberalisme dengan menyatakan bahwa pemikiran tersebut
bertentangan dengan Islam. Di kalangan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur
sering berseberangan dalam beberapa hal, seperti dengan almarhum K.H. As’as
Syamsul Arifin dan pamannya, K.H. Yusuf Hasyim. Ada juga yang menganggap
pemikiran Gus Dur berbahaya meskipun mereka tetap menghormatinya. Demikian juga
K.H. Kholil Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati, Kabupaten
Pamekasan, Jawa Timur, dalam segi politik dan pemikiran keagamaan juga
berseberangan dengan Gus Dur. Ia menilai Pluralisme agama yang diusung Gus Dur
sangat berbahaya bagi umat Islam.[35]
Pandangan pluralisme dianggap sebagai satu paham yang sesat oleh MUI karena
menyatakan semua agama itu benar. Dalam fatwa MUI pada bulan Juli 2005
ditegaskan bahwa pengharaman pluralisme disebabkan karena pluralisme adalah
paham yang ”menyamakan semua agama”. Menurut K.H. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi C,
Fatwa MUI pada saat itu, menjelaskan
bahwa pluralisme agama dapat dimaknai bermacam-macam. Jika pluralisme dimakna
sebagai perbedaan agama, bagi MUI tidak ada masalah. Tetapi yang dinyatakan
menyimpang yakni apabila pluralisme dimaknai:
Pertama,
menyatakan semua agama benar. Pengertian semacam ini bagi MUI tidak benar
menurut semua ajaran agama. Menurut ajaran Islam senidiri, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Al-Quran (Q.S. Ali Imran [3]:19) menjelaskan bahwa agama yang
benar dan diridhai Allah SWT, adalah agama Islam. Karena itu agama yang benar adalah
Islam. Dan pemahaman yang mengatakan semua agama benar adalah menyimpang karena
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua,
teologi pluralisme, yaitu teologi yang mencampuradukkan berbagai ajaran agama
menjadi satu, dan menjadi sebuah agama baru. Teologi semacam itu sama dengan
sinkretisme. Itu sama sekali tidak dibenarkan MUI.[36]
Karena semangatnya dalam memperjuangkan pluralisme, Gus Dur pun dibenci
oleh beberapa golongan. Ia dicap sebagai tokoh liberalisme-sekulerisme dan
dianggap sebagai antek Yahudi. Ada pula yang berkomentar bahwa Gus Dur itu
gila. Tapi komentar ini segera disanggah oleh pendukungnya dengan kalimat : dalam sebuah komunitas orang gila,
satu-satunya yang gila justru adalah satu-satunya yang waras.[37]
Yang paling dominan berseberangan dengan paham pluralisme
ialah penganut paham ekslusivisme, di mana paham ini cenderung tertutup,
bersikap kurang ramah, bahkan terkesan ”memusuhi” terhadap penganut agama lain.
Aliran ini biasanya diwakili oleh mayoritas para musafir klasik dan kelompok Islam
garis keras, (baca :fundamentalis).
Paham ini berpendapat bahwa setelah diutusnya Muhammad SAW, kebenaran agama
hanya ada pada Islam yang dibawa beliau, selain Islam akan ditolak. Ayat yang
sering dijadikan dalil oleh mereka adalah Q.S. Ali Imran (3) :19 yang
artinya, ‘sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...’ dan Q.S. Ali Imran (3) :85
yang artinya, ‘Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.’[38]
Adapun kelompok yang menerima paham atas pluralisme
disebut kelompok inklusif. Kelompok
inklusif ini berpegang atas pemahaman lakum
dinukum wa liya dini artinya untuk
kalian agama kalian dan untukkulah agamaku dan la ikraha fi al-din artinya tidak ada paksaan dalam agama.
Sejatinya di dalam paham ini tidak ada prinsip mempengaruhi orang lain supaya
beralih/murtad atas agamanya, malah mendorong supaya setia terhadap ajaran
agamanya. Paham inklusif ini berkaitan dengan teologi pluralis-multikultural
yang mengakui perbedaan agama dan budaya adalah sebagai kenyataan sejarah. Yang
kemudian bertujuan untuk membangun interaksi intern umat beragama dan antar
umat beragama secara harmonis dan damai, juga bersedia aktif dan pro aktif
dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan etika kemanusiaan demi
mencapai kedamaian yang lebih utuh.
V. Kesimpulan
Pluralisme tidak
dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka
ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya penggambaran
saja bukanlah pluralism. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia, dalam rangka memelihara keutuhan bumi,
yang merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat
manusia. Untuk menyikapi hal ini, upaya yang perlu dilakukan adalah memahami
agama secara padu dan holistic. Al-Qur’an dan Sunah Nabi sebagai ajaran perlu
diinterpretasi serta dipahami secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong serta
tidak terpisah-pisah.
Perlu
dicatat bahwa pluralisme bukanlah relativisme yang meletakkan kebenaran atau
suatu nilai pada pandangan hidup atau kerangka berpikir seseorang atau
masyarakat. Demikian pula, paham ini bukan sinkretisme yang menciptakan agama
baru dengan cara memadukan unsur tertentu atau sebagai unsur dari beberapa
agama yang ada. Justru melalui pluralism semua penganut agama dituntut memiliki
komitmen kukuh terhadap agama masing-masing. Tentunya, pluralism agama tidak
bisa berhenti pada tataran pemahaman yang bersifat teoretis belaka. Pluralisme
mengandalkan adanya ketulusan hati, niat dan tekad yang perlu ditindaklanjuti
melalui serangkaian upaya yang bersifat praktis. Di sini dialog menjadi
signifikan untuk dikedepankan. Di samping itu, masing-masing dituntut membuka
diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, kemudian mengembangkan suatu
kerja sama dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan demi mengangkat derajat
kemanusiaan universal.
DAFTAR
PUSTAKA
A’la, Abd
2002 Melampau Dialog Agama, Jakarta
(Penerbit Buku Kompas).
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam
Bruinessen, Martin Van
1994 NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru, Yogyakarta (Penerbit LKIS Yogyakarta).
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam
1994 Ensiklopedi
Islam, Jakarta (PT. Ichtiar Baru An Hoefe).
Ghazali, Abd. Moqith
2009 Argumentasi Pluralisme Agama Membangun
Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Jakarta (Penerbit Kata Kita).
Hamid, M.
2010 Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Yogyakarta (Penerbit
Pustaka Marwa (Anggota IKAPI).
Ida, Laode
2004 NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme
Baru, Jakarta (Penerbit Erlangga).
Machasin
2000 Pluralisme Dalam Islam, dalam
Pergulatan Pesantren Demokratiasi (editor: Ahmad Suaedy), Penerbit (Yogyakarta:
L.Kis), (Jakarta: P3M) & (Jakarta: Pact-INPI).
Muhammad, Nurdinah
2006 Pluralisme dan Titik Temu Agama-agama, dalam
Hubungan Antar Agama (editor:
Nurdinah Muhammad), penerbit (Yogyakara:
AK Group) dan (Banda Aceh:Ar. Raniry Press).
Mustaqim, Abdul
2010
Islam, dalam Meniti Kalam Kerukunan Jilid 1, (editor: Prof.Dr.Phil. H.M. Nur
Kholis Setiawan & Pdt. Dr. Djaka Soetapa), Jakarta (PT. BPK Gunung Mulia,
Dialogue Centre Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Pusat Studi
Agama-Agama Fakultas Theologia UKDW).
Rahman, Fazlur dkk,
2000 Agama Untuk Manusia, (Penterjemah: Ali
Noer Zaman), Yogyakarta ( Penerbit Pustaka Pelajar).
Ridwan
2004 Paradigma Politik
NU, Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta (Penerbit STAIN Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar).
Rozigin,
Badiatul dkk.
2009 101
Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta (Penerbit e-Nusantara).
Sitompul,
Einar Martahan
1989 NU dan Pancasila, Jakarta (Penerbit:
Pustaka Sinar Harapan).
Bahan Internet
http://www. id.Wikipedia.org.
http://www.indonesiatanpa jil.blogspot.com.
[1]
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta dan pada awal 1920-an
aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indonesia.
[2]
Lih. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Penerbit LKIS Yogyakarta 1994:
hlm. 17
[3]
Lih. Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, hlm. 34-35.
[4]
Lih. Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi
Kuasa, hlm. 36-37.
[5]
Lih. Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, hlm. 38.
[6]
Anggaran Dasar NU dibuat ketika Muktamarnya yang ketiga tahun 1928.
[7]
Lih. Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, hlm. 43.
[8]
Lih. Einar Martahan Sitompul, NU dan
Pancasila, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1989: hlm. 190.
[9]
Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU,
Relasi Sunni-Nu dalam Pemikiran Politik, Penerbit STAIN Purwokerto Press
dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2004: hlm. 79-80.
[10]
Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, hlm.
83.
[11]
Lih. Ridwan, Paradigma Politik NU, hlm.
121.
[12]
Lih.Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif
dan Sekularisme Baru, Penerbit Erlangga, Jakarta 2004: hlm. 7-8.
[13]
Lih. Ida, NU Muda, Kaum Progresif hlm. 87-88.
[14]
Lih. Sitompul, NU dan Pancasila, hlm.
68-70.
[15]
Lih. Nurdinah Muhammad, Pluralisme dan
Titik Temu Agama-agama, dalam Hubungan
Antar Agama (editor: Nurdinah Muhammad), penerbit AK Group (Yogyakarta) dan Ar. Raniry Press (Banda Aceh),
2006: hlm. 73.
[16] DR. Abdul Mustaqim adalah dosen jurusan
Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Saat ini (Saat buku Meniti Kalam Kerukunan diterbitkan),
Beliau menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Filsafat Islam Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
[17] Lih
DR. Abdul Mustaqim, Islam, dalam
buku Meniti Kalam Kerukunan Jilid 1, Prof.Dr.Phil.
H.M. Nur Kholis Setiawan & Pdt. Dr. Djaka Soetapa (ed.), Penerbit (PT. BPK
Gunung Mulia, Dialogue Centre Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Pusat
Studi Agama-Agama Fakultas Theologia UKDW), Jakarta 2010: hlm. 8-10.
[18] Lih.
Abdul Mustaqim, Islam, dalam buku Meniti Kalam…hlm. 10-11.
[19] Lih.
Fazlur Rahman, dkk, Agama Untuk Manusia,
Ali Noer Zaman (Penterj.), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000: hlm.
75.
[20]
Lih. Machasin, Pluralisme Dalam Islam, dalam
Pergulatan Pesantren Demokratiasi (editor: Ahmad Suaedy), Penerbit: L.Kis
(Yogyakarta), P3M (Jakarta) & Pact-INPI (Jakarta) 2000: hlm. 189.
[21] Lih.
Abdul Mustaqim, Islam, hlm. 27.
[22]
Lih. Abd. Moqith Ghazali, Argumentasi
Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Penerbit Kata
Kita, Jakarta 2009: hlm. 227-228.
[23]
Lih. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, PT. Ichtiar Baru An Hoefe, Jakarta 1994: hlm. 101.
[24]
Lih. Abd A’la, Melampau Dialog Agama, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta 2002: hlm. 42-45.
[25] Lih.
M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme & Guru Bangsa, Penerbit Pustaka Marwa
(Anggota IKAPI), Yogyakarta 2010: hlm. 13-14.
[26] Lih.
Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm.
19.
[27] Lih.
Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm.
7.
[28] Lih.
Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm.
77-78.
[29] Lih.
Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm.
96.
[30] Lih.
Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia,
Penerbit e-Nusantara, Yogyakarta 2009: hlm. 38.
[31] Lih.
Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam
… hlm. 297-300.
[32]
Lih. http://www.indonesiatanpa
jil.blogspot.com. dikunjungi Jum’at: 2 Nopember 2012, pkl. 20.00 wib.
[33]
Lih. Badiatul Rozigin, dkk. 101 Jejak
Tokoh Islam … hlm. 269.
[34]
Lih. http://www.indonesiatanpa
jil.blogspot.com. dikunjungi Jum’at: 2 Nopember 2012, pkl. 20.00 wib.
[35] Lih.
M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm. 80-81.
[36]Lih.
M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, .hlm. 92-93.
[37] Lih.
M. Hamid, Gus Gerr, Bapak Pluralisme, hlm.
78.
[38] Lih.
Abdul Mustaqim, Islam, hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar